Bahasa Indonesia sedang galau? Barangkali pertanyaan awal itu akan muncul di benak pembaca saat membaca judul artikel ini. Ya, bahasa Indonesia tengah mengalami kegalauan yang luar biasa. Apa pasal? Sebab, para penutur asli bahasa tersebut sedang keranjingan berbahasa Inggris ria.
Buktinya, kosakata-kosakata bahasa Inggris kini banyak bertaburan di ruang publik kita. Pertanyaannya, bagaimana caranya agar kita bisa menghapus kegalauan tersebut?
Prof Ismet Fanany dari Universitas Deakin, Australia, berkomentar bahwa dirinya dan para pengajar bahasa Indonesia di luar negeri bingung akan penggunaan bahasa Indonesia oleh orang Indonesia saat ini.
Pasalnya, kita selaku penutur asli bahasa Indonesia lebih bangga menggunakan bahasa Inggris daripada bahasa Indonesia. Apa buktinya? Lihat saja iklan-iklan di media massa dan reklame di jalanan yang kesemuanya didominasi bahasa Inggris.
Selain itu, penggunaan bahasa Inggris di ranah umum, seperti halnya iklan di media cetak dan elektronik, reklame, spanduk, dan lain-lain, dianggap telah melanggar pasal 38 dan 39 ayat (1) UU No 24 Tahun 2009.
Dalam pasal tersebut dinyatakan, bahasa Indonesia wajib digunakan dalam rambu umum, penunjuk jalan, fasilitas umum, spanduk, dan alat informasi lain yang merupakan pelayanan umum serta dalam informasi melalui media massa.
Alih-alih menaati peraturan di atas, yang terjadi justru sebaliknya. Masyarakat Indonesia, sekali lagi, begitu keranjingan berbahasa Inggris ria. Dosen dan mahasiswa jurusan bahasa Indonesia, berdasarkan pengamatan saya, lebih suka mengucapkan kata-kata, seperti download, print, upload, online, dan website.
Mereka kurang (atau tidak?) terbiasa mengucapkan padanan kata dalam bahasa Indonesia kata-kata itu, seperti unduh, cetak, unggah, daring, dan laman.
Jangankan masyarakat umum, dosen dan mahasiswa jurusan bahasa Indonesia saja ternyata lebih senang berbahasa Inggris daripada berbahasa Indonesia. Maka, wajarlah jika kegalauan bahasa Indonesia harus "diobati" dimulai dari ranah pendidikan, khususnya LPTK yang mencetak guru bahasa Indonesia. Barulah kemudian, "obat" kegalauan bahasa Indonesia "disuntikkan" ke masyarakat umum selaku pengguna bahasa Indonesia.
Perlu Sanksi Tegas
Hingga kini, kita telah memiliki dua produk hukum yang terkait dengan bahasa Indonesia, yaitu Undang-Undang Dasar RI Tahun 1945, khususnya Pasal 36 dan Undang-Undang RI Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan. Keduanya secara tegas menyatakan, bahasa Indonesia merupakan bahasa resmi negara. Dan, oleh karena itu, dalam seluruh aspek kehidupan di Indonesia wajib menggunakan bahasa tersebut.
Tetapi, sayangnya kedua produk hukum itu banyak sekali dilanggar oleh masyarakat Indonesia itu sendiri. Akibatnya, seperti diprediksi oleh Prof George Quinn dari Universitas Nasional Australia (ANU), kedudukan bahasa Indonesia belum kokoh di negeri ini.
Mulai dari presiden, pejabat negara, hingga masyarakat kita sedang keranjingan berbahasa Inggris ria. Ditambah lagi dengan nihilnya sanksi tegas atas penggunaan bahasa Inggris secara meluas belakangan.
Saya pikir, pihak pemerintah pusat dan daerah/provinsi (pemda/pemprov) perlu merumuskan sanksi yang tegas dan berefek jera bagi pihak-pihak yang melanggar atas kedua produk hukum tadi.
Akhir kata, pemberian sanksi tegas dalam rangka menaati Pasal 36 UUD '45 dan Pasal 25 hingga Pasal 45 UU No 24 Tahun 2009 perlu dilakukan oleh pemerintah pusat dan daerah. Tanpa itu, saya kira, kegalauan bahasa Indonesia makin menjadi-jadi akibat masyarakat Indonesia tengah keranjingan berbahasa Inggris ria.
Pertanyaannya kini, jika tidak kita yang lebih bangga berbahasa Indonesia, lantas siapa? Dan jika tidak sekarang dilakukan, lantas kapan?(rol)
Dosen Mata Kuliah BIPA & Sejarah dan Politik Bahasa Nasional PBSI .
Oleh: Sudaryanto