JAKARTA (HR)-Mantan Mentri Dalam Negeri (Mendagri) Syarwan Hamid, mengatakan Indonesia belum siap menjalankan sistem pemilu yang ada.
"Di kita (Indonesia) manusianya tidak siap dikasih aturan baik. Sebagus apapun aturan dicari kelemahannya. Makanya pembangunan kita sekarang ini mandek seperti ini," kata Syarwan, Jumat (2/10).
Ia mencontohkan, perumusan Undang-Undang (UU) Otonomi Daerah yang digagas pada eranya. Bahkan, pihaknya telah melakukan studi banding ke negara-negara maju seperti Amerika, Jerman, dan Jepang untuk merumuskan UU tersebut.
"Yang bagus itu negaranya sudah sistem distrik. Jadi kita bikin UU untuk mengarah ke itu (sistem distrik). Satu hari pertama diluncurkan UU untuk itu semua menolak, kenapa? Karena mereka pada umumnya merasa tidak menjadi tokoh di distrik," tuturnya.
Menurutnya pilkada hanya bisa dilahirkan melalui UU Otonomi Daerah ini. Akhirnya lima UU lahir dalam waktu itu. Bahkan sempat terjadi tarik menarik kepantingan kala itu di DPR.
"Awalnya lahir UU Pemerintah Daerah, lalu terakhir UU Otonomi Daerah. Ini semacam perbaikan dari situasi orde baru," ulasnya.
Menurutnya, semangat dari lahirnya UU Otonomi Daerah itu bagaimana memberikan kewenangan yang besar bagi daerah sehingga bisa mengambil kebijakan yang tepat. Selanjutnya bisa mengembangkan sumber daya yang ada.
"Waktu itu banyak yang nentang, beberapa menteri yang diuntungkan dengan sistem sentralistis itu seperti kehutanan dan pertanian. Dia ingin semua keputusan di sini (pusat). Mereka takut nantinya banyak korupsi-korupsi di daerah. Karena bo-lak balik rapat itu-itu saja diulang-ulang saya lama-lama jengkel," tegasnya.
Kini terbukti, dengan banyak money politics, bahkan kekuasaan seperti diperjual belikan. "Jika mau diganti lagi yang milih kepala daerah itu DPRD sama saja balik ke sistem yang dulu. Kekuasaan DPR dan DPRD besar bukan untuk melayani tapi untuk dijual belikan. Memperbaiki sistem perlu pelan-pelan, semoga kita dapat pemimpin yang demokratis tapi keras. Orang -orang seperti Lee Kuan Yew," pungkasnya.(okz/dar)