WACANA untuk mencabut Undang-Undang No 1/PNPS Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama yang katanya atas permintaan (desakan) dari organisasi internasional asal Inggris yang bergerak di bidang hak asasi manusia (HAM), Amnesty International (AI), kepada Presiden Joko Widodo adalah sesuatu yang membahayakan dan bisa mengundang reaksi keras publik. Pemerintah yang usianya baru beberapa bulan ini jangan terlalu tergesa-gesa mengambil langkah kontroversial.
Sudah banyak organisasi keislaman dan personal yang menyatakan penolakannya, seperti Muhammadiyah, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Ikatan Dai Indonesia (Ikadi), dan Front Pembela Islam (FPI). Jikalau sampai terjadi, tentu akan memancing lagi munculnya gelombang besar penolakan, sebagaimana banyak yang menolak kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Dan ini, tentu saja, akan memperlemah jalannya pemerintahan di tengah tumpukan masalah bangsa yang kepentingannya jauh lebih besar.
Sebagai negara yang berketuhanan, hak-hak beragama seorang warga negara harus dilindungi dengan sebaik-baiknya. Termasuk, melindungi agamanya dari penodaan dan penistaan yang bisa saja dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.
Salah satu ancaman yang mengintai jika undang-undang ini dicabut adalah ancaman keamanan. Sebab, agama itu termasuk hak yang asasi. Bahkan, kedudukannya lebih tinggi daripada harga diri, jiwa, harta, dan keturunan. Untuk mengujinya, gampang saja. Cobalah hina agama itu di hadapan orang Muslim. Walaupun ia masih lalai menjalankan agamanya, pasti ia akan marah besar, yang kemarahannya itu jauh lebih besar daripada jika yang dihina itu keturunan atau dirinya sendiri.
Kemudian, coba juga melihat sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Jika bukan karena semangat agama, bangsa tidak akan pernah mencapai kemerdekaannya.
Dan tabiat manusia itu, kata Ibn Khaldun, suka untuk berbeda dan berkesumat sehingga dibutuhkan negara untuk menengahinya. Celah untuk berkesumat itu harus ditutupi sekuat-kuatnya agar tidak terjadi yang tidak diinginkan. Dan salah satu tutup kuatnya itu adalah UU Penistaan dan Penodaan Agama ini.
Jika alasan pencabutan untuk melindungi penganut minoritas, tindakan tersebut juga akan mencederai kelompok mayoritas. Toleransi oleh pihak mayoritas sudah terlalu banyak untuk disebutkan.
Jika negara berusaha membuat puas semua pihak, tentu ini harapan yang terlalu jauh dan sulit untuk diwujudkan. Adanya UU ini sudah cukup menjadi jalan tengah di antara kelompok mayoritas dan minoritas, sebagai bentuk kesepahaman dan menjaga kepentingan bersama. Tugas negara adalah berbuat adil, bukan berbuat sama. Dalam artian, menempatkan sesuatu pada tempat yang tepat dan dengan porsi yang sesuai.
Pemerintah tidak usah lagi menambah masalah yang mencederai rakyat. Naiknya harga BBM sudah cukup membuat rakyat menderita yang menyebabkan jumlah rakyat miskin bertambah. Jangan lagi melukai perasaan mereka dengan sesuatu yang berkaitan dengan agama. Banyak urusan lebih penting yang harus diselesaikan segera, yang membutuhkan sentuhan tangan pemerintah dan para pejabatnya karena berkaitan dengan hajat hidup rakyat.
"Keberadaan negara itu adalah untuk memenuhi kebutuhan manusia untuk mendapatkan makanan, pakaian, tempat tinggal, menjaga jiwa. Dan semua inilah yang mendorong adanya sistem dalam masyarakat insan," kata Ibn Khaldun.
Dalam konteks keislamanan, ada lima hal dasar yang harus dilindungi dari seorang anak manusia, yaitu agamanya (al-din), hartanya (al-maal), jiwanya (an-nafs), keturunannya (an-nasl), dan akalnya (al-aql). Kelima hal ini lebih dikenal dengan maqashid al-syariah, yaitu tujuan-tujuan pensyariatan. Di antara lima hal ini yang di posisi paling atas adalah hak beragama. (rol)
Penulis adalah dosen Mahad Ali bin Abi Thalib Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.