Rakor penanggulangan Karhutla di Gedung Gubernuran Jumat (18/9) digelar Pemprov bersama perusahaan dan Pemkab bergelora. Sejumlah unsur yang hadir meneriakkan yel-yel “janji tak bakar lahan”, sebagai wujud sikap. Jelang beberapa hari sebelumnya, Rabu (9/9) Gubri saat menghadapi ratusan massa dari berbagai elemen dalam aksi di depan Kantor Gubernur, juga menandatangani pernyataan komitmen Riau bebas asap di tahun 2016.
Dua fragmen peristiwa membawa asa. Semoga dapat berbuah pada komitmen untuk mengakhiri penderitaan masyarakat Riau atas dampak masif kabut asap yang telah menahun. Meski komitmen juga harus disertai perencanaan. Adapun yang diharapkan berupa pendekatan yang menyasar akar persoalan untuk menghentikan Karhutla. Meski tahun ini kabut asap banyak disuplai dari provinsi lain, namun Riau masih daerah rutin Karhutla.
Pencegahan
Menyoal pendekatan, paradigma pencegahan haruslah lebih dikedepankan daripada penanganan kuratif semisal pemadaman yang jangka pendek. Sama halnya upaya hukum. Pendekatan paling realistis dan jangka panjang adalah menyasar akar persoalan. Lahan gambut patut jadi perhatian di sini. Sebagaimana diketahui, peristiwa kabut asap selama ini disebabkan Karhutla di lahan gambut.
Data berbicara gambut menyumbang 95 persen. Bicara penanganan kebakaran di lahan gambut diakui sangat sulit. Apalagi yang punya kedalaman. Greenpeace dalam sebuah ekspos pernah mengatakan bahwa, di kedalaman enam meter ke bawah gambut dapat menyimpan bara api selama berbulan-bulan. Bahkan, jangankan dipicu api, suhu dibawah sudah panas sekali, mencapai 60 derajat Celcius.
Namun kondisi tersebut tidak terjadi dengan sendirinya. Gambut pada dasarnya kawasan penyerap dan penyimpan air (aquafer) selama musim hujan. Hal tersebut dapat mencegah terjadinya banjir di musim hujan dan kelangkaan air pada musim kemarau (Andriesse, 1988; Rydin & Jeglum, 2006). Selain penampungan air, gambut rawa alami berfungsi sebagai penyeimbang sistem tata air wilayah (control water system).
Di setiap meter kubiknya juga dapat menyimpan sekitar 850 liter air. Sehingga setiap hektar gambut mampu menyimpan air sebesar 88,60 juta liter. Dikaitkan dengan kebutuhan air manusia yang rata-rata sebesar 85 liter per hari per jiwa, maka setiap hektar gambut (ketebalan 1 m) dapat mencukupi kebutuhan air untuk 274 jiwa penduduk per tahun (Kristiadi Harun, 2014). Artinya eksistensi gambut berkah bagi kehidupan.
Namun gambut bisa musibah bila mengering. Mengubah sifatnya dari penyuka air (hidrofil) menjadi tidak menyukai air (hidrofob) (Rieley et al., 1996). Apalagi jika saat musim kemarau plus kelalaian manusia mengelolanya. Perihal terakhir disenut ini, menegaskan perlunya keseimbangan antara fungsi produksi dan fungsi perlindungan lahan gambut. Sebab, jika fungsi perlindungannya menurun maka fungsi produksinya dapat terganggu.
Perda
Jadi gambut bisa menjadi berkah dan sebaliknya musibah tergantung pada pengelolaannya. Kemudian menyoal kawasan gambut di Riau, yang berkisar 4,3 juta hektar, dengan sebagian besar terkategori sangat dalam, jelas ancaman nyata. Data menunjukkan, dari semua titik kebakaran, sebagian besar terjadi di lahan gambut berkedalaman lebih dari satu meter. Sekali lagi, upaya pemadaman dengan air tidak akan berjalan efektif.
Terkait pengelolaan, mengakomodir gambut ke dalam Peraturan Daerah (Perda) dipandang sangat urgen. Mengacu ke ketentuan lebih tinggi, ini pun sudah semestinya direspon demikian. Dalam lampiran Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah menyatakan keharusan memiliki Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) di tingkat Provinsi. Juga Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2014 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut.
Khusus RPPLH membawa konsekuensi logis bahwa merupakan langkah ideal membentuk payung hukum untuk kawasan gambut. Selanjutnya, sejumlah concern menunggu untuk dipertimbangkan supaya dapat dimasukkan ke dalam Perda yang mengatur pengelolaan kawasan gambut.
Di antaranya penegasan status kawasan gambut budidaya mana konservasi, keharusan adanya upaya restorasi pada kawasan gambut yang telah dimanfaatkan (dengan jeda waktu), penga turan tata kelola air tanah (eko hidro) di zona inti, zona penyangga (buffer zone) dan zona lainnya di kawasan gambut. Termasuk juga di sini keharusan bagi aktivitas produksi lahan gambut untuk memiliki sekat kanal (canal blocking), agar tetap basah dan tidak menjadi sumber kebakaran hutan.
Terakhir dan tak kalah penting, demi optimalisasi peraturan maka harus pula dibentuk satuan khusus di tingkat provinsi. Sebagai bentuk realisasi Undang-Undang No 23 tahun 2014 dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 61 Tahun 2010 tentang pembentukan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) dan Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP).
Upaya lewat pembentukan Perda setidaknya dapat menjadi ikhtiar untuk menghentikan Karhutla. Mumpung sekarang kabut asap perlahan sudah berkurang, dan peralihan ke musim hujan, maka jangan lagi berleha-leha. Sekaranglah saat untuk memulainya.***
Oleh: Ir H Mansyur HS, MM - Anggota DPRD Provinsi Riau