APBN untuk Kemaslahatan Kemanusiaan

Sabtu, 19 September 2015 - 10:22 WIB
Ilustrasi

Presiden Joko Widodo beberapa waktu yang lalu telah resmi membacakan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal dan Postur RAPBN 2016 dalam pidato Nota Keuangan dan RAPBN 2016 di gedung Parlemen, Jakarta.

Dalam uraiannya, ia memaparkan total pendapatan negara rencananya sebesar Rp 1.848,1 triliun. Terdiri atas penerimaan perpajakan Rp 1.565,8 triliun dan penerimaan negara bukan pajak Rp 280,3 triliun. Dibandingkan APBNP 2015, ada kenaikan pendapatan Rp 86,5 triliun.

Yang menarik dan perlu untuk dicatat, pemerintah akhirnya bersikap lebih realistis dengan mematok asumsi pertumbuhan ekonomi dalam RAPBN 2016 pada kisaran 5,5 persen, lebih rendah ketimbang APBN Perubahan 2015 sebesar 5,7 persen.

Sementara itu, 1 September lalu, Badan Anggaran menyampaikan laporan hasil pembicaraan Rancangan Undang-Undang tentang Pertanggungjawaban atas Pelaksanaan APBN 2014. Dalam laporan tersebut, setidaknya Banggar merekomendasikan tujuh poin yang harus dilakukan pemerintah ke depan.

Pertama, meningkatkan kualitas laporan. Hal ini sangat penting mengingat kualitas laporan adalah bukti sahih akurasi kinerja pemerintah di hadapan rakyat. Kualitas laporan yang buruk berarti cermin bagi lemahnya akurasi kinerja pemerintah.

Kedua, pemerintah menindaklanjuti rekomendasi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terkait laporan hasil pemeriksaan atas LKPP yang terdiri atas 21 temuan sistem kendali intern dan sembilan temuan terkait kepatuhan terhadap perundang-undangan yang belum diselesaikan sesuai dengan jangka waktu yang telah ditetapkan.

Ketiga, melakukan monitoring lebih ekstra pada penyerapan anggaran yang tentu saja berpedoman pada prinsip-prinsip efiensi, ekonomis, dan efektif dalam pencapaian kinerja dan pelayanan kepada masyarakat sehingga sasaran pembangunan tercapai serta terealisasi.

Keempat, melanjutkan pelatihan-pelatihan akuntansi dalam rangka meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) bagi para pegawai di lingkungan negara atau daerah. Pelatihan ini perlu dikembangkan lebih masif dengan cakupan yang menyentuh seluruh wilayah Indonesia.

Kelima, melakukan akuntansi berbasis aktual dan melaksanakan pembinaan secara intensif pada seluruh instansi pemerintah pusat. Keenam, menyusun sekaligus menerapkan statistik keuangan pemerintah yang mengacu pada manual statistik keuangan pemerintah sehingga dapat menyajikan konsolidasi fiskal dan statistik keuangan pemerintah dalam rangka memenuhi kebutuhan analisis kebijakan dan kondisi fiskal serta analisis perbandingan antarnegara.

Ketujuh, menyebarluaskan informasi LKPP kepada masyarakat dalam rangka meningkatkan pemahaman terhadap pengelolaan keuangan pemerintah pusat. Dan kedelapan, mengambil langkah yang terstruktur dalam rangka menyajikan informasi sumber daya alam.

Dalam kaidah fikih dijelaskan sebuah adagium yang sangat populer tentang arah kebijakan yang harus dijadikan framework pemerintah tiap kali akan mengambil keputusan. Kaidah itu adalah tasharruf al-imam ala ar-ra'iyyah manuthun bi al-mashlahah. Kamaslahatan adalah hal utama yang harus dikedepankan oleh pemerintah atas segala kebijakannya.

Terkait APBN ini, saya ingin mengatakan bahwa pemerintah harus mengedepankan aspek kemaslahatan dalam mengimplementasikan APBN 2016. Artinya, APBN ke depan harus memprioritaskan tercapainya peningkatan kesejahteraan rakyat dan pelayanan masyarakat yang lebih beradab, manusiawi, dan berwawasan lingkungan.

Dalam konteks yang lebih luas, sesungguhnya berbicara mengenai pemerintahan, tak ada kebijakan yang dibenarkan kecuali kebijakan itu pro rakyat dan ramah pada kemaslahatan yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Dalam bahasa yang lebih ringkas mewujudkan kemaslahatan adalah kewajiban pemerintah atas rakyatnya.

Pelaksanaan prinsip kemaslahatan ini sesungguhnya ditopang oleh prinsip-prinsip lain dalam implementasinya. Pertama, prinsip taqdim al-ahwaj, yakni mendahulukan atau memprioritaskan rakyat yang lebih membutuhkan dibandingkan dengan pihak yang kurang membutuhkan. Gradasi dan skala prioritas adalah kunci utama pemerataan pembangunan. Dengan prinsip gradasi, pemerintah bisa menganalisis pihak mana yang harus diutamakan dalam pembangunan berbangsa dan bernegara.

Tentu saja untuk mendapat skala prioritas yang baik, pemerintah harus melakukan analisis yang mendalam lagi serius disertai dengan naskah akademik dan kajian yang bisa dipertanggungjawabkan. Kajian serta analisis yang akurat dan ilmiah lebih jauh bisa dijadikan refrensi utama bagi segenap pemegang kebijakan.

Kedua, al-'adlu fi i'thai huquq mutasawi al-hajat, yaitu membagi secara adil di antara mereka yang memiliki kebutuhan yang sama. Tahap ini sesungguhnya bagi yang tak terpisahkan dari prinsip gradasi dan skala prioritas tadi.

Namun, dalam konteks ini yang diandaikan adalah ketika terjadi sebuah fase di mana ada pihak-pihak yang memiliki kesamarataan dalam membutuhkan "sentuhan", maka sikap yang harus diambil oleh pemerintah adalah membaginya secara rata tanpa ada diskriminasi.

Ketiga, mengedepankan sikap amanah dalam mengelola harta kekayaan negara dengan menjauhkan diri dari berbagai praktik pengkhianatan dan korupsi (ghulul). Ketiga prinsip di atas adalah prinsip utama yang harus dilakukan oleh pemerintah guna meraih kebijakan-kebijakan yang prorakyat atau yang dalam bahasa pesantren disebut dengan kebijakan yang bermuara pada kemaslahatan keamanusiaan.

Tanpa ketiga prinsip tersebut, sebaik apa pun program yang direncanakan dalam rangka pengimplementasian APBN, maka niscaya ia akan sia-sia belaka. Dan kita tidak mengharapkan itu semua terjadi dan menimpa pemerintah. Semoga.(rol)
Wakil Ketua Banggar DPR RI

Oleh: Jazilul Fawaid

Editor:

Terkini

Terpopuler