Konstelasi politik Tanah Air mendadak berubah, seiring dengan merapatnya Partai Amanat nasional (PAN) ke Istana.
Langkah ini sontak mengejutkan pihak Koalisi Merah Putih (KMP), mengingat PAN adalah teraju utama dalam gerbong KMP, yang sedari awal menasbihkan diri sebagai partai yang akan berdiri di luar pemerintahan.
Kini, pernyataan itu tinggal goresan sejarah dalam buku harian KMP. PAN telah melangkah pergi meninggalkan kawan seperjuangan. Bahkan pantun Prabowo, “dapat kawan baru, kawan lama jangan dilupakan”, menyiratkan duka dan kekecewaan yang mendalam di hati KMP.
Entah apa yang dicari PAN, bukankah tak ada angin tak ada hujan. Bukankah pendiri partai ini selalu bersuara keras terhadap kebijakan pemerintah. Publik disodorkan dengan beragam pertanyaan terhadap langkah politik PAN yang berubah haluan.
Setidaknya ada beberapa alasan berpindah hatinya PAN ke kubu pemerintah. Pertama, realitas politik. PAN melihat berenang dalam lautan KMP hanya akan menguras tenaga.
Pertelagahan dengan Koalisi Indonesia Hebat (KIH) hanya akan menambah beban berat bagi bangsa yang sedang bergelut dengan berbagai masalah, terutama sektor ekonomi.
Alhasil, terpuruknya kondisi ekonomi di bawah pemerintahan Jokowi-JK dipandang PAN sebagai peluang untuk menghulurkan bantuan. Dengan harapan berbuah manis untuk investasi politik jangka panjang.
Kedua, kalkulasi politik. Mencermati peta politik memang, seperti melihat puzzle yang berserakan, susah ditebak dalam waktu singkat, kemana hendak diletakkan. Sebab warna puzzle beraneka warna dan ujungnya terkadang sama.
Sehingga menyulitkan untuk menata dan menyusunnya. Sama dengan langkah politik, sulit menerka arah anginnya hendak kemana, terkadang ke barat dan terkadang ke timur.
Persis adagium, “ tidak ada kawan dan lawan yang abadi dalam politik, yang abadi hanyalah kepentingan,”. Dan sekarang sedang dijalankan PAN dengan torehan langkah politiknya ke bilik Istana. Sebuah kalkulasi politik kepentingan yang dibungkus dengan slogan menyelamatkan bangsa.
Ketiga, eksekusi politik. Dalam politik, keputusan dan langkah politik adalah keniscayaan. Setelah menimbang realitas dan kalkulasi, eksekusi adalah penting untuk menguji tesis politik. Hal ini dilakukan guna meraih lompatan-lompatan besar dalam politik. Namun salah membaca realitas dan menghitung peluang, bisa terbuang dalam arus utama politik.
Terutama yang memiliki jangkar massa politik terdidik seperti PAN. Sehingga potensi kehilangan ladang utama sangat besar akibat eksekusi politik yang salah dan tidak etik.
Mencermati langkah di atas ada satu hal yang mungkin terlupakan oleh PAN, bahwa setiap kebijakan besar, akan memiliki resiko besar. Faktanya, kebijakan ini mendapat reaksi yang cukup kuat dari internal PAN sendiri.
Seperti pernyataan salah satu politikus senior PAN Husein Alamsyah yang menyatakan mundur dari PAN. Sejarah mencatat, belum pernah sejak PAN berdiri riaknya sebesar ini.
Apalagi naiknya Zulkifli Hasan sebagai pemegang tampuk PAN hanya beda tipis dari Hatta Rajasa. Artinya, peluang mendapat tantangan dari kader-kader PAN cukup signifikan.
Kalau ini tak dimampu diredam, bisa-bisa PAN bernasib sama dengan pendahulunya, yakni Partai Golkar dan PPP, terpecah dan terbelah.
Kalaulah tesis ini benar, sempurna sudah politik pecah belah kekuatan. Dalam silat politik, untuk mengalahkan lawan politik tidak perlu menggunakan kekuatan sendiri.
Cukup dengan menggunakan kekuatan lawan. Mengutip teori perang Sun Tzu,” umpanlah mereka dengan bayangan untung, bingungkan dan silaukan mereka”. Sehingga ketika kekuatannya terpecah dan terbelah, ditarik dari sumber energi utamanya, alamat lawan akan kalah dan tumbang sendiri.
Ironi Partai Harapan
Menapak tilas sejarah PAN berdiri, menyiratkan harapan rakyat akan partai ini. Partai yang lahir dari anak kandung reformasi. Bahkan kalau dibedah urat nadi sejarah PAN berdiri, niscaya akan ditemukan bongkahan tulisan reformasi.
Sebuah ungkapan keramat di awal bangsa ini menggugat hala tuju pembangunan bangsa di bawah pemerintahan Orde Baru. Alhasil, lahirnya PAN memunculkan secercah harapan di tengah dominasi partai politik lama.
Namun, dalam rentang perjalanan politiknya, PAN dengan ikon reformasi kurang mendapat apresiasi rakyat. Faktanya, suara PAN dari satu pemilu ke pemilu belum menunjukkan prestasi yang membanggakan. Seperti pada pemilu 1999 PAN memperoleh suara 7,12 persen, kemudian menurun pada pemilu 2004 menjadi 6,44 persen, 2009 memperoleh 6,4 persen dan sedikit menanjak pada tahun 2014 menjadi 7,59 persen.
Sekarang, PAN sedang menjajal mantera politik Sang Maestronya Amien Rais. Benarkah rangkulan Istana bukan rangkulan maut. Publik hanya bisa menebak dan menunggunya. Walau dalih yang digunakan untuk menyelamatkan bangsa. Namun sinyalamen berhembus, bahwa tawaran kekuasaan memang terlalu manis untuk dielakkan, apalagi dibuang.
Apapun yang terjadi, itu adalah hak politik PAN untuk menentukan langkahnya.
Tapi satu hal yang patut diingat oleh PAN, bahwa politik tidak selalu berbicara kekuasan tapi juga moral dan etika politik (fatsoen politik). Apalagi negeri ini, masih merindukan keteladan dalam segenap aspek kehidupan termasuk di bidang politik.
Bukankah negeri ini, negeri timur yang kaya dengan adab dan budi pekerti yang luhur?.
Semoga, langkah PAN melabuhkan tirai politiknya dalam bilik Istana, benar-benar pilihan tepat untuk menyelamatkan bangsa. Bukan pilihan untuk menikmati empuknya kasur-kasur kekuasaan. Wallahu’alam.***
Oleh: Suhardi