Kontroversi terkait program pembangkit listrik 35 ribu megawatt (mw) pemerintah Jokowi-JK tidak pernah berhenti. Sekali lagi pernyataan Menteri Koordinator Maritim dan Sumber Daya menimbulkan kegaduhan publik.
Dalam konferensi pers seusai rapat koordinasi yang tanpa dihadiri Menteri ESDM Rizal Ramli menyampaikan, target yang paling realistis untuk pembangunan pembangkit di Indonesia adalah 16 ribu- 18 ribu mw sampai 2019.
Secara matematis, apa yang disampaikan Menko tersebut sangat masuk akal. Berdasarkan paparan PT PLN (Persero) dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi VII DPR beberapa hari lalu, kapasitas pembangkit yang dimiliki PLN dan beberapa pengembang swasta (independent power producer/IPP) per Desember 2014 sudah mencapai 51.571 mw.
Ditambah dengan 1.449 mw pembangkit baru yang sudah beroperasi (commercial operation date/COD) per Juli 2015, total kapasitas pembangkit kita saat ini sudah mencapai 53.020 mw. Apabila ditambah dengan proyek baru 35 ribu mw dan sisa program pemerintah sebelumnya (fast track program/FTP1 dan FTP2) sebesar 7.000 mw, total kapasitas pembangkit kita sudah 95 ribu mw pada 2019.
Yang menjadi perdebatan selanjutnya, apakah kapasitas yang besar itu sesuai kebutuhan negeri ini? Jawaban atas pertanyaan itulah yang menjadi sumber kontroversi. Semua pihak memiliki argumen yang berbeda- beda.
Menko Rizal Ramli menghitung berbasiskan beban puncak saat ini, yaitu 50.860 mw. Jika asumsi pertumbuhan listrik sebesar 8,7 persen per tahun, beban puncak yang akan dicapai pada akhir 2019 hanya sekitar 74 ribu mw.
Artinya akan ada kelebihan daya lebih dari 21 ribu mw jika semua pembangkit terealisasi. Itu dengan asumsi pertumbuhan listrik optimistis. Padahal, prediksi adanya perlambatan ekonomi dalam beberapa tahun ke depan akan menurunkan nilai pertumbuhan listrik sehingga surplusnya pasti akan lebih besar lagi.
Logikanya, surplus daya listrik akan membuat krisis listrik yang selama ini terjadi akan bisa diatasi. Hal ini memang benar. Namun perlu dicatat, PLN memiliki kewajiban untuk membayar 72 persen listrik yang dihasilkan dari pembangkit tersebut, dipakai atau tidak. Bila ini terjadi, PLN akan mengalami kerugian yang sangat besar, mencapai 10,763 miliar dolar AS per tahun, nilai yang sangat fantastis. Jika ini terjadi, bukan tidak mungkin PLN akan bangkrut karena harus menutup kerugian tersebut.
Di sisi lain, basis penghitungan oleh PLN dan Menteri ESDM adalah rasio elektrifikasi nasional yang saat ini masih 86,39 persen. Dengan target rasio elektrifikasi 97,4 persen pada akhir 2019, maka diperlukan tambahan kapasitas terpasang 35 ribu mw (di luar 7.400 mw yang sudah dalam tahap konstruksi sesuai program FTP 1 dan 2).
Kalaupun kelebihan daya, akan digunakan sebagai cadangan listrik jika ada gangguan, yang umumnya di kisaran 35 persen. Cadangan ini diperlukan bila ada pembangkit yang mati atau dalam perbaikan.
Namun, PLN juga menyadari, hambatan untuk merealisasikan target 35 ribu mw sangatlah besar. Tantangan terbesar adalah masalah pendanaan. Untuk merealisasikan proyek yang terdiri dari 291 pembangkit, 732 transmisi, dan 1.375 unit gardu induk, dibutuhkan anggaran 72.942 juta dolar AS, nilai fantastis yang mustahil dipenuhi PLN maupun APBN dalam lima tahun ke depan. Yang paling realistis adalah menggandeng investor swasta, tentunya dengan skema saling menguntungkan.
Tantangan terbesar selanjutnya adalah pengadaan lahan. Sesuai UU Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyediaan Lahan untuk Kepentingan Umum, proses pengadaaan tanah membutuhkan waktu 488-742 hari yang harus selesai sebelum penunjukan pengembang. Sampai saat ini masih ada lebih dari separuh lahan pembangkit (21.130 mw) yang belum dibebaskan. Apalagi waktu terus berjalan dan praktis hanya meninggalkan empat tahun tersisa.
Tantangan lainnya adalah masalah perizinan yang membutuhkan penyelarasan dan akselerasi oleh pemerintah pusat dan daerah. Termasuk juga prosedur pengadaan yang masih belum jelas apakah penunjukan langsung ataukah tender terbuka sesuai peraturan yang berlaku, yang tentunya membutuhkan waktu tidak lama. Semua tantangan ini harus diatasi pemerintah agar proyek 35 ribu mw terwujud.
Terlepas dari benar-tidaknya hitungan masing-masing pihak dan realistis atau tidaknya proyek itu, sangat tidak elok jika kontroversi ini terus terjadi, apalagi di lingkungan dalam pemerintah. Masyarakat dan investor akan dibuat kebingungan dengan kesimpangsiuran ini, yang akan berakibat buruk. Pemerintah harus secepatnya memutuskan manakah kebijakan yang akan diambil, tanpa mengorbankan kepentingan rakyat banyak.
Semua pihak yang terlibat harus duduk bersama merumuskan roadmap ketenagalistrikan yang paling tepat di negeri ini. Kalau perlu, DPR harus turun tangan dengan membentuk panitia khusus (pansus) untuk membantu meluruskan hal ini, termasuk juga mengawasi proses pelaksanaannya. Jangan sampai masalah tersebut menjadi penghambat program mulia ini. Semua pihak harus bahu-membahu melakukan yang terbaik agar Indonesia bisa menjadi negeri bermartabat dan mandiri energi.(rol)
Anggota Komisi VII DPR Fraksi PKS
Oleh: lskan Qolba Lubis