Asap menjadi kata yang paling banyak terucap dalam setiap lalu lintas komunikasi akhir-akhir ini.
Bahkan, kata asap menjadi bualan utama di jagad maya maupun di dunia nyata. Saking popularnya pemangku nomor satu negeri ini yakni Jokowi terjun langsung melihat asap.
Ironisnya asap yang dibicarakan, bukan kepulan asap di dapur yang setiap orang menghendakinya. Kalau asap dapur setiap orang suka, malah berusaha sedaya upaya agar asap ini terus mengepul.
Sebab asap dapur berkorelasi dengan terpenuhinya konsumsi sehari-hari. Makanya, muncul ungkapan,” dapur berasap dan tak berasap”,. Kalau asap dapur dirindukan setiap orang, tapi asap yang satu ini dibenci semua orang.
Yakni asap akibat kebakaran hutan dan lahan yang telah menjelma menjadi kabut asap
Kini, kabut asap melanda kembali sebagian besar bangsa ini. Entah sudah kesekian kali.
Sulit untuk menghitungnya, sebab datangnya seolah bermusim, bahkan lebih sering daripada musim buah-buahan. Kerugian yang ditimbulkannya juga, bukan jutaan rupiah tapi telah mencecah puluhan milyar, bahkan akumulasi semua kerugian yang diderita rakyat dan bangsa bisa mencapai triliunan rupiah.
Kedatangan kabut asap seakan menjadi penyempurna musibah yang melanda bangsa ini. “Gula-gula” asap menjadi hidangan utama disamping terpuruknya nilai rupiah dan melonjaknya harga barang. Belum lagi harga komoditas utama rakyat seperti sawit dan karet terus menjunam. Bahkan untuk karet, penurunan harganya sudah berlangsung lebih kurang tiga tahun.
Apa sesungguhnya yang sedang terjadi pada bangsa ini? mungkinkah ada, pesan asap yang belum ditanggapi penduduk tanah ini, sehingga asap perlu datang setiap tahun untuk menjelaskan pesannya?. Atau, jangan-jangan kita tidak pernah bisa membaca dan menangkap pesan asap yang hendak disampaikan asap, atau mungkin mata dan telinga kita sudah buta dan tuli sehingga kita bisa lagi melihat dan mendengar pesan asap?.
Kabut asap sejatinya adalah pesan tuhan kepada bangsa ini untuk kembali memperlakukan alam secara “manusiawi” dan menjaga lingkungan dengan baik.
Sebab, selama ini bangsa Indonesia telah menjadi “monster” menakutkan bagi hutan alam. Akibatnya hutan menderita dan tersiksa, pohon tidak hanya ditebang sebatang, tapi jutaan batang.
Bahkan rumah tempat pohon itu tumbuh sudah dibabat habis alias digunduli.
Berdasarkan catatan Kementerian Kehutanan Republik Indonesia, sedikitnya 1,2 juta hektar atau 2% dari hutan Indonesia menyusut tiap tahunnya. Bahkan tercatat dalam World Guinness Book of Records sebagai negara yang laju kerusakan hutan tercepat di dunia
Kerusakan atau ancaman yang paling besar terhadap hutan alam di Indonesia adalah penebangan liar, alih fungsi hutan menjadi perkebunan, kebakaran hutan dan eksploitasi hutan secara tidak lestari baik untuk pengembangan pemukiman, industri, maupun akibat perambahan.Kerusakan hutan yang semakin parah menyebabkan terganggunya keseimbangan ekosistem hutan dan lingkungan di sekitarnya.
Kini, sudah terlihat bagaimana akibat tidak mengindahkan pesan Tuhan. Banjir, gempa bumi, kemarau panjang dan kabut asap melanda beberapa daerah di Indonesia setiap tahunnya. Atau jangan-jangan gejolak ekonomi yang melanda bangsa Indonesia sekarang, akibat doa dan teriakan alam kepada tuhan. Karena manusia tidak bersahabat lagi dengan alam. Sebab hukum kausalitas tidak hanya berlaku antara manusia dengan manusia, tapi juga berlaku antara manusia dengan lingkungan.
Sunguh benar kata Allah dalam al-Qur’an Surat Ar Rum ayat 41, “ bahwa telah terjadi kerusakan di darat dan di lautan akibat ulah tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali ke jalan yang benar”. Banyak di antara manusia yang tidak mengindahkan peringatan Allah ini.
Akibatnya, manusia menuai sendiri apa yang ditanamnya. Untuk itu, pesan asap tahun ini, hendaknya dijadikan ruang untuk mengoreksi diri, merenung kembali aturan tuhan yang dilanggar.
Pesan kabut asap hendaknya menjadikan manusia merubah paradigma dan lakunya terhadap lingkungan. Sebab menjaga alam dan lingkungan adalah kewajiban setiap insan.
Bahkan menurut Yusuf Qardhawi memelihara dan menjaga lingkungan setara dengan menjaga lima tujuan hukum Islam (maqasid syariah). Kalau tidak, kita akan terus kedatangan asap dan bisa saja kedatangan berikutnya bersama kawan-kawannya yang akan membawa azab, yang membuat kita semakin tersiksa dan terjerembab dalam labirin penderitaan.
Semoga, pesan asap kali bisa kita tangkap dan cerna dengan baik serta menyadarkan kita bahwa ekospritualisme menjadi prasyarat penting untuk menjadi insan kamil. Insan yang menghargai makhluk-makhluk tuhan lain, yang notabenenya juga ciptaan tuhan.
Hilang dan campakkan egoisme sentris manusia yang ingin memuaskan hasrat dan birahi “seks” kuasanya terhadap lingkungan. Akhirnya, dengan bersahabat, menjaga dan melestarikan lingkunganlah kita baru benar-benar layak disebut khalifah Allah di muka bumi. Wallahu’alam.***
Pengamat sosial keagamaan.
Oleh: Suhardi