Hutan berdasarkan UU 41 Tahun 1999 disebutkan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan.
elanjutnya dalam kenyaataan sehari-hari terdapat beda pandang implementasi tentang apa yang dimaksud dengan hutan tanaman. Berdasarkan PP No 6 Tahun 1999 Hutan tanaman adalah hutan yang dibangun dalam rangka meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi dengan menerapkan silvikultur intensif. Selanjutnya juga disebutkan tujuan pembangunan hutan tanaman (atau HTI/Hutan Tanaman Industri) antara lain adalah:
1.Membangun hutan tanaman yang secara ekonomis menguntungkan, secara ekologis sehat, dan secara social bermanfaat bagi masyarakat setempat.
2.Meningatkan produktivitas hutan dalam arti meningatkan riap (growth Per ha/tahun), sehingga diperoleh volume akhir daur (yield) yang tinggi.
3.Memenuhi kebutuhan bahan baku industry yang ada (existing industry) serta yang akan dikembangkan.
Pemahaman diatas inilah yang selanjutnya menimbulkan polemik dalam implementasinya dimana banyak kasus membuktikan bahwa benar terjadi peningkatan produktivitas produksi hutan tanaman dalam rangka pemenuhan kebutuhan bahan baku industry pulp dan keras namun disisi lain kerusakan hutan berjalan parallel dengan peningkatan produktivitas tersebut.
Pemberian izin pemanfaatan hutan memiliki resiko korupsi yang tinggi. Hal ini dapat dilihat dari penyimpangan yang terjadi dalam proses pemberian izin yang tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Penyimpangan pemberian izin ini dapat dilihat dalam kasus korupsi kehutanan di Provinsi Riau yang telah melibatkan 2 bupati, 3 kepala dinas kehutanan yang telah divonis bersalah oleh pengadilan tindak pidana korupsi.
Fenomena ini sebetulnya juga terjadi pada izin yang diterbitkan oleh Menteri Kehutanan, namun sampai saat ini belum ada upaya hukum untuk mempersoalkan izin tersebut.
Secara umum pemberian izin konsesi dapat dibagi kedalam tiga tahap diantaranya: Pra Perizinan, Perizinan dan Pasca Perizinan.
Tahap pra perizinan terkait dengan legalitas kawasan hutan pada areal yang akan diberikan izin serta perubahan ketentuan dalam pemberian izin.
Tahap perizinan terkait dengan syarat syarat administrasi yang menyertai keluarnya izin. Dan tahap Pasca perizinan terkait dengan pelaksanaan ketentuan yang harus dilakukan pasca keluarnya izin.
Ambisi Kementerian Kehutanan yang menargetkan tanaman HTI sampai dengan tahun 2009 seluas 5 juta hektar dan pada tahun 2014 seluas 9 juta hektar (tanaman HTI efektif sebesar 50% s/d 70 % dari luas izin konsesi HTI) turut menjadi pemicu kerusakan dimana hutan produktif yang harusnya tidak dberikan izin untuk Hutan Tanaman atau HTI tetap saja menjadi target pemberian izin.
Perizinan dan Tata Ruang
Pemberian izin yang tidak sesuai dengan ketentuan merupakan sebuah pelanggaran administrasi negara. Apabila ditemukan unsur korupsi didalamnya maka akan menjadi sebuah tindak pidana korupsi sebagaimana yang telah diputuskan oleh pengadilan tindak pidana korupsi terhadap Bupati Siak dan Bupati Pelalawan dalam memberikan izin IUPHHK-HT yang tidak sesuai dengan ketentuan.
Korupsi perizinan yang berhasil diungkap oleh KPK sangat kecil dibandingkan dengan praktek pelanggaran administrasi negara dalam pemberian izin IUPHHK-HT di Provinsi Riau karena sebagian besar izin IUPHHK-HT dikeluarkan oleh Menteri Kehutanan. Dari 1.910.155 ha izin HTI yang dikeluarkan di Provinsi Riau 78,8% diantaranya dikeluarkan oleh Menteri kehutanan, 11,94% dikeluarkan oleh bupati pelalawan, 3,37% dikeluarkan oleh Bupati Siak, 3,29% dikeluarkan oleh Bupati Inhu, 2,52% dikeluarkan oleh Bupati Indragiri Hilir, sedangkan 2,57% belum teridentifikasi.
Selain itu izin yang sudah dikeluarkan tersebut berada pada kawasan hutan yang belum mempunyai kekuatan hukum (Legalitas), baik berdasarkan fungsi maupun status kawasan hutan. Fungsi kawasan hutan yang sudah ditetapkan baru sampai bulan Mei 2013 baru seluas 552.448 ha atau 13,05% dari luas keseluruhan.
Sedangkan status kawasan hutan belum ada yang ditunjuk apalagi ditetapkan, namun dalam prakteknya pemerintah mengasumsikan bahwa fungsi kawasan hutan yang ditunjuk dianggap sebagai hutan negara bahkan sampai saat ini belum ada pedoman pengukuhan kawasan hutan berdasarkan status kawasan hutan, atas hal itu KPK 2012 meminta Kementerian Kehutanan untuk membuat pedoman pengukuhan kawasan hutan berdasarkan status kawasan hutan.
Disisi lain secara spasial terdapat beberapa aturan dalam pengelolaan hutan diantaranya: Penunjukan kawasan hutan (TGHK), Tata Ruang (RTRWN dan RTRWP) dan Pengelolaan kawasan lindung yang tidak singkron satu sama lain.
Hal ini diperburuk dengan perubahan kriteria kawasan yang diatur dalam peraturan pemerintah maupun peraturan mentri yang tidak konsisten dalam menetapkan kriteria kawasan yang dapat diberikan izin IUPHHK-HT.
Legalitas Kawasan
(KPK tahun 2010) menemukan setidaknya terdapat empat aturan yang mengatur pemanfaatan ruang pada lokasi yang sama yang terdiri dari Rencana tata ruang nasional (RTRWN), rencana tata ruang provinsi (RTRWP), rencana tata ruang kabupaten dan Tata guna hutan kesepakatan (TGHK)/ penunjukan kawasan hutan.
Raflis 2010 menemukan perbedaan fungsi yang besar antara TGHK, RTRWP dan RTRWN di Provinsi Riau (lihat grafik)
Akuntabilitas dari dokumen RTRWN, TGHK maupun RTRWP dapat dipertanyakan, karena masing masing menggunakan kriteria yang hampir sama dalam penetapan zonasi kawasan hutan.
Kriteria kawasan dalam tata ruang merupakan kriteria dalam TGHK ditambah perlindungan kawasan bergambut. Dalam praktek pemberian izin yang digunakan oleh kementrian kehutanan adalah peta TGHK/ penunjukan kawasan hutan.
Sementara itu, mahkamah konstitusi menyatakan telah terjadi diskresi10 dalam penetapan fungsi kawasan hutan oleh Kementerian Kehutanan. Selanjutnya kementrian kehutanan secara sepihak mendefinisikan fungsi kawasan hutan merupakan hutan negara dari sisi status kawasan hutan serta mengabaikan mandat pasal 5 UU 41 tahun 1999 yang merupakan akar dari konflik agraria yang terjadi dalam kawasan hutan. Lebih jauh lagi MK juga sudah menetapkan bahwa hutan adat bukan merupakan hutan negara.
Peluang Menyimpang
Peluang korupsi dalam pemberian izin, dapat bagi menjadi 3 tahap yaitu Pra Perizinan, Perizinan dan Pasca Perizinan. Tahap pra perizinan terkait dengan legalitas kawasan hutan pada areal yang akan diberikan izin serta perubahan ketentuan dalam pemberian izin.
Tahap perizinan terkait dengan syarat syarat administrasi yang menyertai keluarnya izin.Tahap Pasca perizinan terkait dengan pelaksanaan ketentuan yang harus dilakukan pasca keluarnya izin.
Ketidak konsistenan regulasi juga menjadi pemicu tumbuh suburnya praktek korupsi sektor kehutanan. Kriteria area yang diperuntukkan untuk pemberian izin bagi HTI seperti lahan kosong, alang-alang dan seterusnya nyata-nyata dalam implementasinya tidak berjalan.
Peluang korupsi terkait pengawasan terjadi dikarenakan kelemahan dalam praktek/ implmentasi yang terjadi dilapangan. Bahwa ada aturan dan kebijakan prinsip tata kelola hutan lestari dimana pemerintah juga harus melakukan pengawasan dan pengaman terhadap aturan tersebut, namun terkadang ketidak professional akibat praktek korupsi dan moralitas yang rendah menjadi kendala didalam menegakan aturan-aturan tersebut.
Peluang Korupsi terkait dengan pembayaran retribusi kenegara berupa DR/PSDH berasal dari berbagai modus yang dilakukan oleh perusahaan maupun pemerintah yang tidak optimal dan sengaja melakukan pembiaran.
Selain fakta-fakta korupsi PBNP sektor kehutanan akibat dari tidak ektrasi ilegal yang dilakukan perusahaan, peluang korupsi PNBP sektor kehutanan (PSDH/DR) dapat dilihat dari hal penarikan dimana peluang yang sangat rentan yaitu manipulasi LHP/LHC.
Selanjutnya, dalam hal pengalokasian, bahwa PNBP sektor kehutanan merupakan penerimaan negara yang dibagihasilkan kepada daerah penghasil yaitu IUPH, PSDH dan DR.
Alokasi Dana Bagi Hasil (DBH) tersebut ditentukan berdasarkan hasil rekonsiliasi triwulan-semesteran dan tahunan antara dinas kehutanan daeran – Kementerian Kehutanan dan Kementeria Keuangan dan kementrian terkait lainnya guna mengevaluasi antara SPP dan LHP wajib bayar.
Dalam rekonsiliasi tersebut sampai pengalokasian DBH sesuai peraturan menteri keuangan (PMK) membuka ruang bagi terjadinya negosiasi antara dinas kehutanan dan kementrian keuangan. Wallahualam.***