Kita sepakat bahwa demokrasi itu “bebas”. Tidak mengenal istilah darah biru. Semua orang dipandangnya sama. Dengan demikian, bukan berarti pula demokrasi boleh dijalankan sesuka hati kendatipun secara lahiriah (legal formal) membolehkannya.
Sayangnya, demokrasi sesuka hati inilah yang terjadi di alam pilkada kita hari ini. Ada politik konyol di sana. Demokrasi dinistakan. Demokrasi dijalankan tanpa marwah. Elite politik lokal hanya memandang demokrasi dari sisi bebas dan lahiriahnya saja.
Paling tidak ada enam noda yang begitu kental dan pekat dalam hal ini. Pertama, dinasti politik. Dan yang paling ekstrem terjadi di Kediri. Di mana istri pertama dan istri ketiga eks Bupati Kediri sama-sama mendaftar di KPU Kediri sebagai calon kepala daerah.
Sebelumnya juga begitu, di tahun 2010, istri eks Bupati Kediri yang pertama dan istri kedua pula yang maju. Ketika itu istri pertama yang melanjutkan empuknya tahta sang suami. Apakah takdir masih berpihak kepada istri pertama?
Kedua, menghilang ketika mendaftar di KPU. Ini belum pernah terjadi sebelumnya. Hal ini terlihat di Kota Surabaya. Di mana pada waktu perpanjangan pendaftaran kali pertama, bakal calon kepala daerah Dhimam Abrom dibuat bingung oleh wakilnya sendiri, Haries namanya. Mereka datang bersamaan ke KPU.
Ketika KPU memverifikasi data pencalonan mereka dan belum tanda tangan, sang wakil hilang bagaikan ditelan bumi. Ditunggu-tunggu, Haries juga tak muncul. Dia datang dan pergi sesuka hati. Sehingga pencalonan pasangan Dhimam-Hariespun tidak sah.
Ketiga, menggusur posisi calon dalam sekejap mata. Ini lagi-lagi terjadi di Surabaya. Sebelumnya Dhimam Abrom dipasangkan dengan Haries. Pada perpanjanga pendaftaran kali kedua, posisi Dhimam Abrom digeser. Di mana dia tidak lagi dicalonkan oleh partainya sebagai calon kepala daerah, namun sebagai wakil dari Rasiyo.
Keempat, partai politik mencalonkan mantan koruptor. Seperti tak ada orang saja yang bisa dicalonkan. Seperti di Kota Manado. Tak tanggung-tanggung, calon kepala daerah yang diusul partai politik itu adalah mantan walikota setempat yang terjerat kasus korupsi APBD.
Hal yang serupa juga terjadi di Kota Semarang, mantan walikota yang pernah terlibat kasus korupsi juga dicalonkan oleh partai politik. Alasan partai mengusulkan mereka adalah karena yang bersangkutan berjanji tidak akan mengulanginya kembali. Dalam bahasa agamanya, sudah bertaubat gitu.
Kelima, pasangan suami istri berpasangan mendaftar sebagai calon kepala daerah dan wakil kepala darah. Mereka berasal dari calon perorangan. Ini terjadi di Kota Balikpapan. Apa kata dunia ketika calon perorangan ini terpilih. Sang suami walikota. Sang istri wakil walikota. Sang suami tinggal di rumah dinasnya. Sang istri tinggal pula di rumah dinasnya.
Keenam, membiarkan munculnya calon tunggal. Bahkan sebelumnya, yaitu sebelum KPU membuka pendaftaran kedua, ada daerah yang tidak ada calon sama sekali. Ke mana partai politik? Bukankah mengusulkan calon kepala daerah adalah tanggung jawab partai poltik?
Melihat realitas politik sesuka hati ini, terutama calon kepala daerah yang telah diusulkan oleh partai politik ataupun membiarkan beberapa daerah dengan calon tunggal, patut kita pertanyakan keseriusan partai politik untuk membangun demokrasi yang bermarwah, bermartabat dan berkualitas.
Seharusnya partai politik menyediakan calon-calon yang terbaik untuk rakyat. Termasuk terbaik dalam perjalanan hidup mereka. Bukan hanya sekadar memperhatikan menang atau kalah, populer atau tidak sama sekali, dibolehkan secara hukum atau tidak.
Namun ada yang lebih penting, yaitu tanggung jawab moral, etika, kepatutan, dan kepantasan juga seharusnya diperhatikan.***
Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Islam Riau.
Oleh: Wira Atma Hajri, SH, MH