JAKARTA (HR)-Pengamat politik Arbi Sanit menilai, bergabungnya Partai Amanat Nasional sebagai partai pendukung pemerintah, diyakini tidak akan banyak berpengaruh dalam persoalan bangsa yang dihadapi sekarang ini. Sebab, tonggak perubahan itu ada di tangan presiden.
Sejatinya, dalam sistem presidensial multi partai yang dianut Indonesia, memang seharusnya pemerintah semakin kuat jika mendapat dukungan banyak partai. Dengan bergabungnya PAN menjadi pendukung pemerintahan, membuat peta dukungan partai di DPR menjadi berubah.
Namun Arbi menilai, hal itu tidak bisa diharapkan di Indonesia,
karena permasalahan bangsa Indonesia saat ini bukan terletak pada sistemnya, namun pada sosok sang presiden sendiri yaitu Joko Widodo.
"Tapi itu tidak akan terjadi berapapun besarnya anggota koalisi pendukung pemerintahan di DPR, karena faktor terlemah justru terletak pada sosok Jokowi sebagai presiden,” ujar Arbi, Kamis (3/9).
Bila pun ada perubahan, ujarnya, itu hanya akan terlihat pada pembagian kursi kekuasaan saja. Setelah bergabung dengan Koalisi Indonesia Hebat (KIH) PAN tentunya akan mendapatkan jatah kursi menteri atau jabatan penting lainnya di pemerintahan, tambahnya.
Ditambahkannya, tanpa bergabungnya PAN ke dalam pemerintahan, Jokowi faktanya sudah mendapatkan dukungan penuh dari seluruh partai yang ada. Karena apa pun keinginan Jokowi, selalu diikuti seluruh partai, termasuk partai yang seharusnya menjadi oposisi yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih (KMP).
“Yang terjadi justru sebaliknya, partai-partai koalisi pendukung pemerintahan yang tergabung dalam KIH justru yang menjadi pihak yang selalu merongrong pemerintahan dan membuat gonjang-ganjing politik. KIH tidak solid mendukung Jokowi dan saling cakar-cakaran memperebutkan posisi. KIH juga tidak kompak dengan elemen pendukung lainnya, sehingga justru menimbulkan ketidakstabilan politik,” tegas Arbi.
Menurut Arbi, kewibawaan presiden tidak cukup agar seluruh proses bernegara berjalan baik. Sebab, Jokowi dinilainya tidak memiliki kemampuan untuk mengontrol pemerintahannya. Jokowi juga dinilainya tidak mampu merangkai dan merakit kekuatan yang seharusnya dikuasainya, mulai dari internal kabinetnya sendiri, partai pendukung dan birokrasi.
Arbi justru khawatir, dengan bergabungnya PAN menjadi pendukung pemerintah, justru akan menciptakan ketidakstabilan dan mengancam demokrasi, jika dukungan kepada pemerintah berubah menjadi fanatisme semata. Pemerintahan yang dipimpin Jokowi akan mengarah ke otoriter karena memiliki kepercayaan diri yang lebih tinggi bahwa apa pun kebijakan yang diambil, tidak akan ada yang melawannya.
“Ketika DPR tidak lagi kritis, maka pemerintah akan bisa seenaknya mengambil kebijakan yang tidak adil dan tidak berpihak pada rakyat. Kita akan menuju orde baru yang baru. Semua akan mengiyakan saja apapun keinginan Presiden. Ini jadi bahaya,” paparnya.
Tetap Solid
Sementara itu, Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Sohibul Iman mengatakan, KMP akan tetap menjadi koalisi yang solid, meski PAN beralih mendukung pemerintah.
"Kami pastikan KMP solid," kata Sohibul usai menggelar pertemuan dengan petinggi parpol KMP di Kantor DPP PAN, Kamis (3/9/2015).
Hadir dalam pertemuan itu, Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto, Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan, dan Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie. Selain itu, hadir pula Sekjen PKS Taufik Ridho, Sekjen Partai Golkar Idrus Marham, dan Sekjen Partai Gerindra Ahmad Muzani.
Pertemuan itu berlangsung selama kurang lebih dua jam, sejak pukul 19.30 WIB hingga 21.30 WIB. Usai pertemuan, Prabowo langsung meninggalkan lokasi tanpa mengikuti kegiatan jumpa pers terlebih dahulu.
Dalam pertemuan tersebut, Sohibul menambahkan, DPP PKS juga memperkenalkan susunan pengurus yang baru. Ia menegaskan, pertemuan yang dilangsungkan malam ini tak ada kaitannya dengan manuver PAN itu.
"Pertemuan ini adalah silaturahmi antara pengurus PKS baru dengan KMP. Jadi acara ini sudah kami rencanakan sejak lama," tuturnya. (sam, kom)