JAKARTA (HR) — Direktur Eksekutif Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng menilai, kepentingan politik kepala daerah merupakan salah satu penyebab lemahnya penyerapan anggaran. Bahkan, program-program yang menggunakan anggaran APBD dilakukan atas kepentingan politik.
Menurut Robert, hasil temuan KPPOD, sebelum pemilihan kepala daerah, ada kontrak kesepakatan soal anggaran yang dilakukan calon kepala daerah dengan wakilnya. Misalnya, anggaran Rp500 juta ke atas digunakan untuk kepentingan walikota, sementara di bawah Rp500 juta untuk wakil, dan selebihnya untuk pendukung.
Menurut Robert, kesepakatan seperti itu mengakibatkan pembelanjaan anggaran tidak dilakukan secara teratur sesuai program pembangunan. Pencairan anggaran selalu disesuaikan dengan keinginan kepala daerah.
"Jadi, kalaupun anggaran itu dibelanjakan, itu untuk kepentingan politik," ujar Robert dalam suatu diskusi publik di Jakarta, Sabtu (29/8).
Sementara itu, anggaran belum terpakai yang jumlahnya mencapai Rp 273 triliun itu, menurut Robert, malah digunakan untuk mencari keuntungan yang tidak jelas peruntukannya. Misalnya, uang daerah yang disimpan di bank digunakan dengan membeli surat utang negara dan memperoleh keuntungan dari bunga bank.
"Ada masalah di pemda dan ada masalah di perbankan. Bank berpikir komersial, anggaran yang seharusnya diberikan kredit produktif, malah dikonversi melalui BI, menjadi bunga, tapi tidak tahu bunganya itu ke mana," kata Robert. (kom/rin)