Pilkada di tahun 2015 ini sungguh menampilkan realita yang berbeda dengan pilkada-pilkada sebelumnya. Bagaimana pula tidak, sejak kali pertama pilkada diselenggarakan pada bulan Juni 2005 selalu ramai dengan pencari tahta.
Hal ini berbanding terbalik dengan pilkada tahun ini. KPU sudah tiga kali membuka masa pendaftaran, nyatanya adalah masih saja di beberapa daerah hanya satu pasang yang mendaftar.
Melihat realita ini, calon tunggal yang ada mau dibawa ke mana. Apakah pilkada ditunda ataukah pilkada tetap dilaksanakan dengan menyediakan bumbung/gambar/kotak kosong seperti opsi yang beredar selama ini.
Menunda Pilkada
Penundaan pilkada karena alasan calon tunggal ini, menurut hemat saya bukanlah pilihan yang tepat. Sebab belum tentu menyelesaikan masalah.
Kalau tahun 2015 di Kabupaten A misalkan calonnya tunggal, kemudian pilkada ditunda sampai pada tahun 2017. Pertanyaannya adalah bagaimana jika pilkada sudah ditunda, namun masih saja terdapat calon tunggal.
Di samping itu, penundaan pilkada punya konsekwensi lain, yaitu tidak adanya kepala daerah definitif di daerah tersebut. Pelaksana Tugas (Plt) yang ada. Sebagai seorang Plt kepala daerah, tentu saja sang pejabat bukanlah kepala daerah yang sesungguhnya.
Plt punya ruang gerak yang terbatas. Dimana Plt tanpa persetujuan tertulis dari Menteri Dalam Negeri dilarang melakukan mutasi pegawai, membatalkan perijinan yang telah dikeluarkan pejabat sebelumnya dan/atau mengeluarkan perijinan yang bertentangan dengan yang dikeluarkan pejabat sebelumnya, membuat kebijakan tentang pemekaran daerah yang bertentangan dengan kebijakan pejabat sebelumnya, dan membuat kebijakan yang bertentangan dengan kebijakan penyelenggaraan pemerintahan dan program pembangunan pejabat sebelumnya.
Berbeda hal dengan kepala daerah definitif. Melakukan itu semua tanpa persetujuan tertulis dari Menteri Dalam Negeri.
Bumbung Kosong
Opsi kedua ini tidaklah mendidik dan penuh dengan kepalsuan kendatipun dibingkai dengan perppu. Sebab menjalankan demokrasi di alam kepura-puraan. Hanya mementingkan aspek prosedural semata, yaitu adanya pemilihan kendatipun lawan calon tunggal tadi adalah bumbung kosong.
Sesungguhnya, calon tunggal versus bumbung kosong ini bukanlah hal yang baru di republik ini. Sebab sistem ini juga diberlakukan di pilkades. Secara demokrasi prosedural memang tidaklah masalah. Namun perlu juga kita perhatikan, demokrasi tidak hanya persoalan prosedural belaka, namun juga berbicara kualitas, kepantasan, kepatutan, etika.
Di samping itu, akan menjadi persoalan lagi andaikata yang memilih gambar kosong tersebut lebih banyak dari calon.
Apa kata dunia. Sudahlah memakan waktu ditambah lagi dana yang besar, namun hanyalah sia-sia belaka. Sebagai contoh kendatipun bukan dalam konteks pilkada, namun di pilkades. Dimana di Desa Blingo, Mojosong, Boyolali, Jawa Tengah calon tunggal dikalahkan oleh gambar kosong sampai pada pilkades putaran ke 4. Calon tunggal baru mengalahkan gambar kosong pada putaran ke 5.
Proposal yang Diajukan
Menurut hemat saya, daripada kita pura-pura berdemokrasi, kendatipun tidak seperti demokrasi yang dipahami orang pada umumnya, lebih baik pemerintah mengeluarkan perppu yang isinya bahwa daerah yang hanya terdapat calon tunggal, maka calon tunggal itulah sebagai pemenangnya.
Bagi saya, opsi ini tetap demokratis. Sebab setiap orang bebas untuk mencalonkan diri. Tidak ada yang mencegah. Kalau tidak diusung partai politik, maka bisa melalu jalur perorangan/independen.
Jadi, jangan hanya dipahami bahwa demokrasi itu hanya dalam tataran legal formal, yaitu “wajib” ada pemilihan. Dimana satu orang, satu suara, dan satu nilai. Namun sudah seharusnya hari ini kita berbicara demokrasi dalam tataran non legal formal, yaitu substansi demokrasi itu sendiri. Substasnsinya itu adalah setiap orang diperlakukan sama. Tidak ada istilah darah biru atau darah merah. Semuanya sama.
Bukankah pendaftaran pilkada dibuka sebebas-besanya bagi semua orang? Namun yang lain saja tidak berani mendaftar atau mendaftar namun tidak memenuhi syarat sebagai calon.***
Dosen dan Pembina Perhimpunan Mahasiswa Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Islam Riau.