Tidak hanya satu kali, hampir tiap tahun petani kelapa sawit menjerit, harga anjlok lebih dari separuh dari harga normal. Belum lama bisa menikmati hasil panen, kini harus bekerja tanpa hasil, karena hasil panen hanya cukup untuk upah panen dan biaya perawatan.
Kondisi ini dirasakan oleh seluruh petani di Indonesia, khususnya Provinsi Riau. Kini harga sawit kebun atau nonplasma hanya laku Rp450/Kg, padahal ongkos panen sudah mencapai Rp150 ribu/ton. Artinya dalam satu ton sawit petani hanya menerima Rp300 ribu.
Sementara harga pupuk untuk perawatan kebun sawit makin lama makin meningkat. Jika per haktare kebun sawit membutuhkan 5 sak pupuk dan harga pupuk kini di atas Rp200 ribu/sak, maka kebutuhan pupuk untuk perawatan kebun Rp2 juta/hektare. Meski pembersihan kebun dikerjakan sendiri, jika harga sawit di bawah Rp500/kg maka petani hanya mendapat lelah.
Kondisi itu menggambarkan bahwa petani sawit saat ini sangat terpukul, kelabakan mencari celah untuk memenuhi kebutuhan hidup dan biaya pendidikan anak-anak. Lantas sampai kapan petani akan makmur, jika setiap usai lebaran Idul Fitri harga sawit anjlok.
Realita di lapangan, banyak kelompok tani yang kewalahan mecicil utang, baik pinjaman yang didapat melalui koperasi atau bahkan yang meminjam di bank. Jika kondisi ini berkepanjangan dalam beberapa bulan mendatang, maka dampaknya banyak petani sawit yang terlilit utang, apalagi bagi yang penghasilannya hanya mengandalkan sektor perkebunan sawit.
Kini hal itu sudah dirasakan oleh satu kelompok tani di wilayah Siak, akibat ketakutan hasil panen dipotong untuk membayar utang para petani menjual tandan buah segar ke tengkulak, sehingga utang di Koperasi makin hari makin bertambah. Karena bunga dari nilai yang dipinjam petani terus menambah angka pinjaman awal. Dalam hal ini pengurus koperasi melalui kelompok tani kelabakan menagih cicilan utang ke rumah-rumah, sementara yang ditagih dalam kondisi sulit.
Jika kita berdiskusi dengan para petani, tidak jarang mereka mempertanyakan di mana peranan pemerintah Janji manis mensejahterakan petani terkesan hanya bualan belaka, nyatanya harga hasil panen petani berada di tangan pasar dan tidak lain ditentukan oleh negara lain yang berperan sebagai penampung CPO.
Di lain sisi kondisi ini akan berdampak pada daya beli masyarakat, sehingga perputaran ekonomi di suatu daerah khususnya penghasil kelapa sawit pasti anjlok.
Lalu bagaimana tindakan pemerintah menjawab jeritan petani, apakah akan ada bukti keseriusan pemerintah mensejahterakan petani, atau hanya pasrah dengan permainan pasar yang terus mempermainkan penghasilan petani. Mari sama-sama kita pantau kinerja pemerintah, khususnya dalam memperjuangkan harga jual hasil pertanian.***