Dalam beberapa waktu terakhir dana siluman di APBD cukup menyita perhatian berbagai kalangan, sebab pada akhir 204 lalu, di Pemprov DKI Jakarta seperti yang dirilis BKPP DKI Jakarta pihaknya menemukan anggaran siluman di APBD DKI Jakarta yang nilainya mencapai Rp3,5 T.
Kondisi itu juga terjadi di Riau, sebab di beberapa satuan kerja di Pemerintah Provinsi Riau juga ditemukan anggaran siluman. Meski nilainya tak sebesar yang terjadi di Jakarta, namun nilainya juga cukup mencengangkan.
Seperti yang diungkapkan Kepala Dinas Pariwisata Seni dan Budaya Riau, mengaku dirinya tidak ada mengusulkan anggaran, namun tiba-tiba muncul anggaran yang cukup fantastis yakni mencapai Rp67 miliar. Selain itu juga diduga terjadi di Dinas Cipta Karya dan Dinas Perhubungan Provinsi Riau.
Namun yang menjadi persoalan munculnyanya anggaran siluman di APBD ini apakah kesalahan dari SKPD atau DPRD sebagai lembaga pembahas RAPBD. Sebab untuk APBD Provinsi Riau, isu anggaran siluman ini muncul untuk yang kedua kalinya.
Pertama muncul saat APBD 2015 diserahkan ke Kemendagri, Tetapi setelah diverifikasi pihak Kemendagri muncul lagi isu anggaran siluman ini.
Menyikapi kondisi ini seharusnya Pemerintah Provinsi Riau tidak mengabaikan saja isu ini, sebab apabila dibiarkan, dikhawatirkan kondisi itu akan terjadi lagi pada tahun berikutnya.
Apalagi kalau pihak terkait di jajaran Pemprov Riau yang memiliki kewenangan dengan APBD Riau ini hanya mengeluarkan pernyataan kalau memang tidak ada diusulkan anggaran itu oleh satker, dihapus saja mata anggaran itu. Kalau seperti itu kondisinya Pemprov Riau sangat menyepelekan persoalan anggaran siluman ini.
Dalam mengungkap siapa pihak-pihak yang melakukan atau memasukkan anggaran siluman ini tentu ada teknik cara menemukan siapa oknum yang mengubah itu. Di sisi lain, peran Badan Anggaran juga memegang peranan penting dalam mengungkap anggaran siluman ini.
Namun yang terpenting dalam menyelesaikan persoalan anggaran dan mencari akar masalah dana siluman itu, antara eksekutif dan legislatif tidak saling tuding karena pembahasan APBD dilakukan kedua pihak secara bersama-sama. Jika dewan tidak setuju maka anggaran tertentu tidak akan ada di APBD.
Persoalan lain yang juga harus menjadi perhatian Pemprov adalah selama ini, penyebab rendahnya penyerapan anggaran karena mekanisme pelaksanaan tender yang membutuhkan waktu lama.
Apalagi, ada kesan aparat birokrasi masih terlalu berhati-hati, jika tidak bisa dikatakan takut, terhadap faktor hukum dalam hal realisasi anggaran.Termasuk rumor adanya intervensi terkait proyek-proyek APBD ini.
Oleh karena itu, mulai dari sekarang, pemerintah di semua tingkatan semestinya menyadari hakikat anggaran publik sebagai alat untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Sehingga program-program yang sudah masuk dalam APBD Riau 2015 bisa berjalan maksimal***