Bagi anda yang gemar membaca mitologi dunia, terkhusus sejarah-sejarah tentang sikap patriotik kaum spartan Yunani, tentu pernah pula mendengar kisah tentang kuda troya. Kuda troya yang digunakan Yunani untuk membongkar pertahanan alot benteng pasukan kota Troya.
Kuda Troya pada dasarnya bukanlah seekor kuda sebagaimana sebenarnya, kuda Troya hanyalah sebuah reflika raksasa seekor kuda yang dibuat bangsa Yunani untuk menaklukkan kota Troya setelah sepuluh tahun dirundung frustasi karena tidak dapat menaklukkan kota tersebut. Kuda troya akhirnya dibuat sebagai bentuk tipu muslihat jitu.Bangsa Troya yang mengira kuda Troya sebagai simbol menyerahnya Yunani kemudian malah menggotong kuda tersebut ke dalam benteng mereka. Bangsa troya tidak menyadari bahwa reflika kuda raksasa tersebut berisi pasukan Yunani yang dengan mudah menaklukkan kota dari dalam benteng.
Pacu Jalur sebagai “tunggangan” dalam budaya berkompetisi sampan ala masyarakat Kuansing, layaknya kuda Troya, seringkali dihiasi pernak-pernik lain yang disusupi tujuan tertentu di dalamnya oleh kalangan tertentu pula. Belakangan, “tunggangan-tunggangan” (Jalur) ini seolah menjadi alat untuk mencapai tujuan politik. Sebagian memang mengusung misi memajukankan salah satu kekayaan budaya Nusantara ini, sebagian lagi malah menjadikannya sebagaimomen “aji mumpung” alias numpang tenar dengan bergelayut pada popularitas pesta rakyat bernama Pacu Jalur.
Bagi para politikus oportunis ini menjadi sebuah kesempatan emas, sebagian dari mereka bermunculan seperti jamur yang tumbuh setelah musim hujan. Bayangkan puluhan ribu bahkan ratusan ribu manusia berkumpul dalam event tahunan ini. Mereka datang dari seluruh penjuru Kuantan Singingi, berlomba demi gengsi dan prestasi. Manuver-manuver politik menjadi sangat kentara terasa dalam upaya pemanfaatan situasi.
Berkumpulnya massa dalam jumlah besar tanpa perlu usaha untuk mengumpulkannya layaknya kampanye tentu sangat sayang untuk dilewatkan begitu saja oleh politikus oportunis. Sebagai perbandingan, Silvio Berlusconi yang merupakan mantan perdana menteri Italia sekaligus pemilik klub sepakbola top Eropa AC Milan menggunakan sepakbola sebagai tunggangan ke ranah politik. Menjadikan AC Milan sebagai komoditi sport yang megah untuk kemudian mengangkat namanya menjadi terkenal di seentro Italia bahkan dunia, yang kemudian memuluskan jalannya menjadi perdana menteri Italia.
Pacu Jalur sebagai pusat masa di Kuantan Singingi, mau tidak mau akan ikut terseret pada ranah politik dan rawan dipolitisasi. Politisasi disini menurut Prof. Tjetjep Rohendi Rohidi adalah upaya menambah bobot-bobot politik atau dipandang sebagai hal yang menyimpan tujuan politik.
Menurut penulis, tidak ada yang salah dengan menjadi politikus oportunis, karena memang begitulah politikus. Seseorang yang ingin jejang karirnya meroket sebagai politikus maka hal pertama yang perlu dilakukan adalah berusaha selalu menjadi “the right man in the right place”. Hanya akan menjadi tidak benar bilamana ajang Pacu Jalur hanya dijadikan cara instan sesaat membangun popularitas dan menjadi tidak benar bila niat memajukan seni dan budaya hanya untuk selang waktu empat hari saja, kemudian hilang senyap seiring berakhirnya event, serta hanya dijadikan sebagai tunggangan memuluskan strategi-strategi manifulatif untuk mencapai tujuan lain.
Mencari keuntungan atas tingginya animo dan popularitas Pacu Jalur bagi masyarkat Kuantan Singingi dengan memberi kemasan cantik berbalut pesan-pesan politik dan semata-mata sebagai upaya menjaring audience guna mendulang ketenaran. Melihat sesuatu sebagai sebuah peluang yang hanya berorientasi pada pembangunan atas citra diri.
Hal-hal seperti inilah yang seharusnya masyarakat Kuantan Singingi mampu cermati dan tidak mudah menelan bulat-bulat janji politik para politikus oportunis. Sebab hal seperti itu sebenarnya sudah jauh menyimpang dari bagaimana tujuan dan esensi politik itu seharusnya berjalan.
Tujuan politik atau The Essence of Politik menurut Ernesto Laclau and Chantal Mouffe dalam (Hegemony and Socialist Strategy. Verso, 2001) seharusnya berada pada tataran perjuangan ide, gagasan, dan keyakinan, dalam hal ini tentu saja pertarungan dan perjuangan ide dan gagasan untuk memajukan Pacu Jalur sebagai tindak laku berbudaya masyarakat Kuantan Singingi.
Politik seperti yang dikatakan Jakob Sumartjo merupakan suatu kegiatan yang amat melekat dengan kenyataan kontekstual. Politik juga menyatu dengan perubahan konteks, dengan lingkungan hidup. Sayangnya, kita sering telambat sadar melihat perilaku-perilaku berpolitik seperti tadi dan sifat politik yang amat sementara. Politik itu dinamis, dihukum waktu, dan tidak melulu hadir dalam bentuk yang sama.
Hari ini politik muncul sebagai seekor anak ayam, dua hari berikutnya politik muncul sebagai seekor rubah yang siap memangsa. Namun menjadi elok ketika misi politik yang diusung adalah demi kepentingan bersama menjaga kekayaan budaya bangsa, bukan kepentingan golongan dan individu.
(Oleh: Supriando) Politik yang dapat mengapresiasi seni dan budaya dengan baiklah yang diharapkan dapat mengangkat nilai-nilai budaya itu sendiri. Mari berharap, Pacu Jalur yang diberi formula bemuatan politik dapat memberi ide-ide, dan gagasan segar membangun budaya bangsa, alih-alih menjadi “tunggangan” layaknya kuda Troya yang menipu.***
Penulis lepas.