Greenpeace dan Universitas Harvard merilis laporan bertajuk “Ancaman Maut PLTU Batubara” yang memperlihatkan dampak buruk polutan PLTU batubara. Dalam laporan terungkap, operasi PLTU batubara di Indonesia, membuat 6.500 jiwa meninggal dini.
Greenpeace dan Universitas Harvard merilis laporan bertajuk “Ancaman Maut PLTU Batubara” yang memperlihatkan dampak buruk polutan PLTU batubara. Dalam laporan terungkap, operasi PLTU batubara di Indonesia, membuat 6.500 jiwa meninggal dini.
Penyebab kematian, 2.700 jiwa kena stroke, 2.300 jantung insemik, 300 kanker paru-paru, 400 paru obstuktif kronik, 800 lain karena penyakit pernafasan dan kardiovaskular. Ini karena paparan SO2, NOx dan PM 2,5 ditambah hujan asam, emisi logam berat seperti merkuri, arsenik, nikel, kromium dan timbal. Ditambah prediksi kematian negara tetangga Indonesia, mencapai 7.100 jiwa.
Angka ini diperoleh dari penelitian 42 PLTU di Indonesia, belum termasuk proyek 35.000 Megawatt yang dicanangkan Presiden Joko Widodo beberapa waktu lalu. Apabila program dijalankan, prediksi kematian dini akan melonjak menjadi 15.700 jiwa per tahun di Indonesia,dan 21.200 jiwa jika ditambah negara tetangga.
“Emisi dari pembangkit listrik tenaga batubara membentuk partikel dan ozon merugikan kesehatan manusia. PLTU membuat polusi meningkat,” kata peneliti Universitas Harvard, Shannon Koplitz, dalam konferensi jarak jauh bersama media di Jakarta, Rabu (12/8/15).
Program 35.000 megawatt, 22.000 megawatt akan bersumber dari batubara. “Metodologi dalam penelitian ini menggunakan model GEOS-Chem. Model mutakhir untuk mengestimasi level polusi saat ini.”
Metode ini memiliki data emisi dari semua sektor dan lokasi berbeda. Data dijadikan dasar tingkat polusi dan dibandingkan. Untuk PLTU beroperasi, menggunakan data ini dan PLTU tahap perencanaan, proyeksi emisi ditambahkan pada model.
Penelitian juga menggunakan data populasi beresolusi tinggi untuk melihat paparan polusi PLTU. Juga data Global Burden Disease Indonesia dan negara tetangga di Asean untuk melihat hubungan peningkatan risiko penyakit dengan kenaikan polusi.
Lauri Myllyvirta, ahli batubara dan polusi Greenpeace mengatakan, penelitian ini menjadi penting karena data WHO menyebut 3 juta warga meninggal setiap tahun karena polusi udara.
“Setiap pembangkit listrik berbahan bakar batubara baru, berarti berisiko bagi kesehatan orang-orang di Indonesia,” katanya.
Dia membandingkan antara PLTU beroperasi (PLTU Tanjung Jati B 2640 MW di Jepara) dan masih rencana (PLTU Batang 2000 MW). “Menggunakan metode sama, PLTU Jepara menyebabkan kematian dini 1.020 jiwa per tahun.”
Efek paling parah dari PLTU Tanjung Jati B terjadi di Kota Jepara, Kecamatan Pecanangan, Kembang dan Karangsari. Semarang, Rembang dan Lasem juga terpengaruh.
“PLTU Batang yang diusulkan, akan menyebabkan kematian dini 30.000 jiwa dalam masa operasi 40 tahun.”
PLTU Batang diprediksi menyebabkan kematian dini sebanyak 780 jiwa per tahun. Daerah terdampak seperti Pekalongan, Tegal, Semarang dan Cirebon.
“Pemerintah Indonesia harus menetapkan standar emisi untuk PLTU beroperasi dan yang akan datang hingga melindungi kesehatan masyarakat dan sejalan dengan kunci pertumbuhan ekonomi.”
Dia mengimbau pemerintah Jokowi membuat regulasi yang mewajibkan pemantauan emisi dan dimonitor publik. “Saya juga merekomendasikan agar mengkaji dampak kesehatan untuk semua proyek baru.” Dia berharap, pemerintah Indonesia mengutamakan pembangunan energi terbarukan.
Juru kampanye iklim dan energi Greenpeace Indonesia Hindun Mulaika mengatakan, keseliruhan siklus pertambangan batubara memiliki dampak negatif.
“Sejak pertambangan, bagaimana jutaan hektar tambang batubara merusak bentang alam dan meninggalkan air asam tambang. Saat pencucian batubara dan ditranspor untuk sampai pada PLTU paling banyak di Jawa dan Bali menghasilkan dampak kesehatan sangat buruk,” katanya.
Kalau melihat tren global, banyak negara meninggalkan PLTU batubara dan beralih ke energi terbarukan seperti Amerika yang menjadwalkan menutup 200 PLTU. Negara ini menambahkan 46 gigawatt pada energi terbarukan dari tenaga angin, matahari dan geothermal. Sebanyak 24 perusahaan batubara di Amerika tutup dalam tiga tahun terakhir.
China, kuartal pertama 2015 menurunkan 3,7% PLTU batubara. Pembangkit listrik tenaga air naik 17%, angin dan surya naik 20% yang berdampak pada penurunan impor batubara 40%.
“Investor juga mulai melihat bisnis ini tak menarik. Sudah ada beberapa investor besar berkomitmen tidak lagi mendanai PLTU .”
Badan pendanaan yang dimaksud Hindun seperti Bank Dunia, Bank Expor Impor AS, dan Bank Eropa dan Norway’s Sovereign-Wealth Fund.
“Mengapa justru pemerintah Indonesia melawan tren global dan membahayakan masyarakat? Alih-alih pemerintah selalu beralasan PLTU menggunakan teknologi green coal technology. Dengan teknologi paling efisien sekalipun polutan tetap besar.”
Pemerintah, seharusnya tidak memaksakan pembangunan PLTU batubara baru.Pemerintah diharapkan beralih ke energi baru terbarukan.
Arif Fiyanto, juga juru kampanye iklim dan energi Greenpeace Indonesia, mengatakan, Di Cilacap, Greenpeace pernah meneliti ketika PLTU baru beroperasi. “Kita menemukan 80% masyarakat dalam radius lima km menderita penyakit yang berhubungan dengan pernafasan. Mulai paling ringan sampai radang paru-paru hitam.”
Padang paru hitam, katanya, biasa dialami pekerja tambang underground. Hasil penelitian itu terkonfirmasi saat Greenpeace memeriksa kesehatan gratis di daerah itu. Dari 821 warga, 81% menderita penyakit pernafasan.
Greenpeace, sudah kunjungan ke hampir seluruh PLTU di Jawa. Mulai PLTU Labuan (Banten), hingga PLTU Paiton (Probolinggo). Hampir semua warga di dekat pembangkit itu menderita masalah kesehatan.
“Ketika meminta data ke dinas kesehatan, mereka menolak memberikan. Dalam waktu dekat kami akan menggugat sengekta keterbukaan informasi ke KIP.”
Cara lain
Dalam kesempatan berbeda, pengkampanye Jatam Ki Bagus Hadi Kusuma mengatakan, mengatasi krisis listrik sebenarnya tak harus dijawab dengan memperbanyak produksi energi.
Langkah lain, pemerintah memperbaiki tata konsumsi di masyarakat. “Misal kita lihat di Jakarta, bagaimana tiga mal terbesar yakni Pondok Indah Mall I, II dan Gandaria City konsumsi energi tiga kali lebih besar daripada Morowali.”
Menurut dia, ketimpangan konsumsi energi seharusnya jadi perhatian pemerintah. Setelah tata konsumsi beres, baru berbicara soal membangun industri baru.
“Apakah terus bergantung pada energi fosil atau mengoptimalkan energi terbarukan? Di NTT sebenarnya sudah banyak praktik dalam komunitas mandiri melakukan pemenuhan energi. Melalui biogas atau mikrohidro.”
Sampai kini tidak ada kebijakan pemerintah mendorong pembangunan energi baru terbarukan berbasis komunitas. Padahal, itu potensi besar dibanding bergantung pada pembangunan PLTU batubara. “Pemerintah selalu mencari cara paling mudah dengan bergantung pada energi fosil.”