Pemerintahan Jokowi-JK berkeinginan kembali menghidupkan pasal 134, 136 dan 137 KUHP tentang penghinaan terhadap presiden. Ibaratnya, pasal ini sudah “dibunuh” oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada tahun 2006 dan sudah menjadi “mayat”.
Adapun pasal yang ingin dihidupkan berbunyi, “'Setiap orang yang di muka umum menghina Presiden atau Wakil Presiden, dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun kurungan penjara atau pidana denda paling banyak kategori IV”. Bahkan diperluas melalui RUU KUHP pasal 264, “Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan atau me-nempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, atau menperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, yang berisi penghinaan terhadap presiden atau wakil presiden dengan maksud agar isi penghinaan diketahui atau lebih diketahui umum, dipidana dengan pi-dana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV”.
Kini, “mayat” pasal penghinaan presiden ingin dihidupkan kembali oleh pemerintahan Jokowi. Lilitan dan balutan “kafan” yang mengikat pasal penghinaan terhadap presiden ingin dilepas. Sontak upaya ini menimbulkan ketakutan publik. Masih tergiang dan terbayang bagaimana sepak terjang pasal ini ketika hidupnya. Dan menjadi senjata ampuh penguasa dalam meredam lawan-lawan politik yang gencar melontarkan kritik.
Menjadi pertanyaan publik, mengapa pemerintahan Jokowi yang kerap menampilkan kesederhanaan dan lahir dari rakyat, ingin pasal ini hidup kembali? Bukankah menyangkut penghinaan dan perbuatan yang tidak menyenangkan sudah ada aturan yang mengaturnya. Atau sudah sedemikian gentingkah posisi presiden sehingga perlu dilindungi dengan pasal penghinaan?.
Sesungguhnya posisi presiden tidaklah dalam kategori emergency akibat kritik publik. Sehingga tidak perlu menyodorkan kembali pasal penghinaan yang telah usang. Banjirnya kritik yang terkadang mengarah fitnah bukanlah lahir dengan sendirinya. Tapi, berkorelasi dengan kebijakan pemerintah yang kerap menuai kontroversi. Solusinya adalah memperbaiki kinerja pemerintahan. Memikirkan serta fokus terhadap penghinaan hanyalah akan mengurangi laju dan gerak pemerintah. Alih-alih ingin meredam kritik publik yang berbau penghinaan, malah yang didapat semakin rendahnya kepercayaan publik serta menimbulkan kecurigaan rakyat bahwa Presiden Jokowi telah berubah haluan menjadi pemimpin feodalistik.
Untuk itu, menghidupkan pasal penghinaan presiden bukanlah solusi dan langkah bijak. Sebab pasal penghinaan dan pencemaran nama baik terhadap seseorang telah diatur dalam pasal 310-311 KUHP. Apalagi MK telah membatalkan pasal tentang penghinaan presiden. Alhasil, setiap orang dipandang sama dihadapan hukum (equality before the law), tidak ada bedanya antara rakyat dan pejabat.
Mengembalikan marwah dan menjaga presiden dengan menghidup pasal penghinaan presiden, sejatinya membawa bangsa ini mundur. Kembali kepada zaman otoriter, zaman yang tidak menghargai nilai-nilai demokrasi. Pakar Hukum Tata Negara Jimly Asshiddiqie menyebutnya sebagai ketinggalan zaman dan tidak masuk akal, serta mengatakan pasal yang menyatakan Presiden sebagai lambang negara sebagai pasal feodal.
Di zaman kebebasan seperti sekarang, presiden tidak perlu cemas dan risau dengan segala lontaran kritik yang dipandang penghinaan. Sebagai pemimpin nomor satu, presiden sejatinya harus lebih arif dalam mengelola bangsa ini. Seorang presiden tidak akan rendah derajatnya hanya karena banyaknya kritik atau fitnah.
Kritik dan segala irisannya adalah konsekuensi menjadi pemimpin tertinggi bangsa ini. Bukankah dalam ungkapan peribahasa kita, “ semakin tinggi pohon, semakin kencang pula angin yang menerjangnya”. Semakin tinggi kedudukan dan jabatan seseorang, maka semakin besar rintangan yang menghadang. Jika tidak ingin merasakan angin, jadilah rumput. Itupun akan menerima pijakan kaki-kaki manusia.
Dalam era demokrasi dan transparansi, kritik menjadi keniscayaan dan tidak dapat dielakkan. Kita tentu tidak ingin presiden dihina dan dilecehkan. Apalagi presiden adalah pemimpin tertingi bangsa yang harus dihormati. Namun, bukan dengan cara menghidupkan pasal penghinaan yang cenderung disalahgunakan. Alangkah eloknya ketika pribadi presiden merasa terhina dan dilecehkan, menggunakan koridor yang sama seperti yang digunakan rakyat. Semoga rencana menghidupkan pasal penghinaan presiden menyadarkan kita, bahwa sekali pasal itu dikuburkan, jangan sekali-kali berniat menggali dan menghidupkannya kembali. Sebab, tidak ada yang bisa menjamin “mayat” pasal penghinaan presiden tidak akan menebar “teror” yang menakutkan bagi kebebasan rakyat. Wallahu’alam.***
(Oleh: Suhardi ) Pemerhati sosial keagamaan.