Desakralisasi Perkawinan

Senin, 10 Agustus 2015 - 10:50 WIB
ilustrasi


Perkawinan merupakan dambaan setiap insan guna merajut dan menjalin cinta kasih Menurut UU Nomor 1 Tahun 1974 perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam bahasa Kompilasi Hukum Islam (KHI),perkawinan merupakan akad yang sangat kuat atau mitssaqanghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Dan bertujuan membentuk keluarga sakinah, mawaddah, warahmah. Maknanya, perkawinan adalah sesuatu yang sangat sakral dan memiliki tujuan mulia.
Kini, seiring perkembangan zaman, institusi perkawinan telah mengalami pergeseran makna. Pasangan suami-isteri dengan berani mengungkai janji yang baru disemat dalam ijab- qabul, hanya karena persoalan remeh-temeh. Tak ada lagi segan-silu kala perkawinan putus ditengah jalan. Dan ironisnya lagi, hak talak (menceraikan)  tidak lagi didominasi laki-laki, tapi telah berubah haluan. Kemudinya telah berganti kepada perempuan. Menurut Data Puslitbang Kemenag RI yang dihimpun dari Mahkamah Agung tahun 2014, bahwa angka cerai gugat mencapai 268.381 kasus, sedangkan cerai talak 113.850 kasus.
Penyebab tingginya perceraianpun beragam. Tapi yang menonjol adalah ketidakharmonisan dengan berbagai alasan yang sepele dan ringan. Seperti ditemukannya SMS “mesra”,masalah menu makanan yang tidak sesuai dengan selera pasangan, dan masalah-masalah ringan lainnya. Meningkatnya angka perceraian dan cerai gugat mengindikasikan bahwa perkawinan memang tidak lagi menjadi lembaga yang sakral dan memerlukan perjuangan yang kuat untuk dipertahankan.Kondisi dan situasi ini disebabkan oleh beberapa hal.
Pertama, tidak memahami dan memaknai perkawinan dengan baik. Menikah atau kawin hanya dipahami sebatas legal-formal yang mengikat mereka setelah sekian lama menjalin kasih. Padahal dalam Islam, menikah itu adalah bagian dari ibadah kepada Allah. Sebagai sebuah ibadah seharusnya dimulai dan dilandasi dengan niat yang baik. Sehingga orientasi bukan dominan karena fisik, harta, strata sosial dan sebagainya, tapi karena Allah. Alhasil, ketika nikah dengan niat yang baik dan menganggapnya sebagai ibadah, insyaallah akan tertanam sifat sabar, saling menghargai antara suami isteri. Dan yang lebih penting, pasangan suami-isteri menyadari bahwa bahtera rumah tangga menjadi sarana bagi mereka untuk dekat kepada Allah.
Kedua, tidak memahami bahwa menikah itu adalah amanah Allah. Ketika berbicara amanah pasti ada bentuk pertanggungjawabnya. Bertanggungjawab kepada pasangan, dan keluarga pasangan. Dan yang lebih penting bertanggungjawab kepada Sang Khalik. Bukankah halalnya pasangan karena persetujuan Allah dengan menggunakan asmanya ketika ijab-qabul. Artinya, Allah melihat dan menyaksikan perjanjian perkawinan yang diucapkan. Pasangan yang paham konsep ini, jelas tidak menjadikan perceraian sebagai solusi awal. Tapi memandang perceraian sebagai pintu darurat, ketika tidak terbukanya pintu lain dalam menyelesaikan silang-sengketa dalam rumah tangga.
Ketiga, agama sebagai sumbu pelita dalam rumah tangga tidak hidup. Kalaupun hidup cahayanya redup-redup dan mudah padam sekali hembusan. Alasan ketiga ini berkorelasi dengan alasan pertama dan kedua. Ketika konsep pertama dan kedua tidak dipahami dengan benar,akanberimplikasi terhadap pelaksanaan ajaran agama dalam rumah tangga. Pasangan yang tidak salat dan tak pernah terdengar lantunan ayat-ayat Alquran dalam rumahnya akan berdampak terhadap ketenangan dan keharmonisan rumah tangga. Ibarat membangun sebuah menara tinggi, agar kokoh dan tak mudah roboh, pondasinya haruslah kuat. Demikian juga membangun rumah tangga. Material penting yang membuat pondasi kuat dan kokoh adalah implementasi nilai-nilai agama.
Pemahaman konsep diatas adalah elemen utama yang harus dipahami oleh pasangan menikah, disamping elemen-elemen penyangga lainnya. Selama ini pengetahuan tentang rumah tangga hanya diperoleh dalam waktu singkat yang dilakukan di Kantor Urusan Agama (KUA). Kedepan negara harus melakukan terobosan seperti yang dilakukan Malaysia, Singapura dan Brunei. Di negara tersebut pengantin yang akan menikah harus melewati dan mengikuti serangkai aktivitas penasehatan dengan berbagai materi seperti perkuliahan dan waktunya relatif lama. Dan setelah mengikuti dan lulus, mereka baru bisa mendaftarkan perkawinan mereka ke KUA.
Konsep ini jelas tidak memberikan garansi, tapi setidaknya pasangan telah memahami secara komfrehensif makna perkawinan dengan benar. Memang diakui, perubahan budaya dan masuknya perempuan dalam ranah pekerjaan yang memberikan penghasilan tinggi, menjadi salah satu pemicu penghargaan terhadap suami. Apalagi konsep kesetaraan gender telah berjaya merubah paradigama berpikir perempuan era sekarang. Bagi mereka perempuan tidak identik lagi dengan tugas kasur, sumur dan dapur. Tapi sudah merambah sektor yang luas dan mendapatkan penghargaan publik. Alhasil, ketergantungan kepada suami tidak begitu kuat dan bila terjadi perceraian, perempuan tidak lagi takut akan masa depannya.
Tingginya angka perceraian dan cerai gugat sejatinya menjadi alarm penting bagi pasangan menikah dan bangsa. Sebab, fakta ini menyiratkan jatuhnya maruah dan harga lembaga perkawinan. Ekses negatifnya bukan hanya kepada pasangan yang bersangkutan, tapi kepada generasi yang lahir dari pasangan yang bercerai. Sebagai sebuah wadah yang akan melahirkan generasi, perkawinan menempati posisi sentral dan urgen. Bilamana wadah ini tidak lagi dipandang penting dan dengan mudah mengungkainya, kita khawatir bangsa sebagai wadah besar akan menerima banjir besar masalah. Wallahu’alam.***

(Oleh: Suhardi ) Pengamat sosial keagamaan.
 

Editor:

Terkini

Terpopuler