Sejak dibawa oleh pemerintah Belanda tahun 1848 ke Bogor, dan berkembang menjadi produk andalan minyak nabati di abad-19 tersebut, minyak kelapa sawit semakin menjadi primadona di bumi Indonesia. Bahkan di era Orde Baru, perluasan area perkebunan ini digalakkan dengan sistem Perkebunan Inti Rakyat, yang mengakibatkan pertumbuhan luasan lahan kelapa sawit secara agresif.
Minyak ini, terus menjadi komoditi perkebunan andalan, seiring dengan meningkatnya harga minyak bumi, meningkatnya kebutuhan minyak untuk memasak yang murah dan tumbuhnya bisnis pangan serta kosmetik yang membutuhkan sari biji kelapa sawit ini. Pertumbuhan minyak sawit di era 1990-an adalah sekitar 7-8% setahun, jauh di atas harga komoditi minyak nabati lainnya sekitar 4-5% per tahun.
Produksi kelapa sawit Indonesia sendiri sejak 5 tahun terakhir, terus meningkat drastis, dari sekitar 20 juta metrik ton menjadi 27 juta metrik ton di tahun 2012, dengan target sasaran ekspor utama adalah negara India dan Cina serta selebihnya ke Uni Eropa dan Amerika Serikat.
Indonesia dalam dua tahun belakangan mengekor 7.7 juta metrik ton sawit ke India dan 6.5 juta metrik ton ke Cina. Dengan total devisa lebih dari 3 miliar dollar dari sektor perkebunan sawit saja, tak ada alasan bagi pemerintah untuk tidak mengutamakan bisnis yang satu ini.
Pemerintah Indonesia sejak 1970-an, memang mengutamakan bisnis kelapa sawit ini sebagai salah satu upaya utama memperkuat basis perekonomian nasional dan menggenjot devisa negara, dengan memaksimalkan eksploitasi dan penguasaan sumber daya alam.
Diharapkan, upaya ini bisa memberikan kontribusi maksimal pada kesejahteraan rakyat Indonesia. Luas kebun kelapa sawt di Indonesia, adalah 8.1 juta hektar saat ini, dari total 12 juta hektar lahan kelapa sawit yang ada di seluruh dunia.
Namun, fakta ternyata bicara beda. Seiring dengan ekspansi bisnis perkebunan kelapa sawit yang agresif, kompleksitas masalah seputar agribisnis komoditi ini pun semakin meningkat. Terutama yang merugikan bagi rakyat.
Sejak 1980-an hingga hari ini, berbagai kasus pertanahan terkait penyerobotan lahan dan penghancuran lahan masyarakat oleh perusahaan perkebunan sawit masih (dan bahkan makin) marak terjadi. Dan yang terpenting, peningkatan devisa dari kelapa sawit, tidak berbanding lurus dengan kesejahteraan masyarakat di sekitar perkebunan.
Salah satu titik api utama berbagai kasus penyerobotan lahan ini adalah Propinsi Riau. Provinsi Riau adalah penghasil kelapa sawit terbesar di Indonesia, dengan total cangkang kelapa sawit per tahun mencapai 2.8 juta ton.
Luasan lahan sawit di propinsi ini mencapai 2,3 juta hektar, atau yang terbesar di seluruh Indonesia. Setidaknya 7 grup perusahaan kelapa sawit di Riau terlibat konflik dengan masyarakat soal lahan.
Grup yang terbanyak terlibat konflik adalah APRIL, disusul oleh Torganda, Sinarmas, PTPN dan Duta Palma, dengan total lahan konflik mencapai lebih dari 300.000 hektar.
Salah satu konflik yang kini mendapat perhatian serius dari pemerintah lokal di Riau adalah konflik antara PT Duta Palma dan masyarakat desa Kuala Cenaku dan Kuala Mulia di Indragiri Hulu.
Konflik yang terjadi sejak tahun 2005 ini berawal dari penyerobotan lahan hutan masyarakat di kedua desa tersebut dengan Duta Palma seluas lebih dari 10.000 hektar.
Ironisnya, Duta Palma sendiri ternyata belum memegang hak pelepasan hutan untuk keperluan perkebunan dari Kementerian Kehutanan RI, untuk melakukan proses penanaman dan pengambilan lahan masyarakat tersebut sejak pertama kali beroperasi 7 tahun silam di wilayah ini. Singkat kata, pengambilan lahan ini dilakukan secara ilegal tanpa basis legalitas yang jelas.
Masyarakat sendiri, merasakan dampak ekologis yang luar biasa sejak kehadiran perkebunan kelapa sawit di wilayah ini. Syafii, salah satu warga desa Kuala Cenaku mengakui, desanya dulu adalah salah satu penghasil udang terbesar di Riau, dia bahkan bisa mendapat penghasilan lebih dari 2 juta rupiah per bulan, dari hasil hutan yang ada di sekitar Kuala Cenaku.
“Saat perusahaan (sawit) masuk, digundul hutan kami, ditanami sawit, dan dipupuklah dengan entah apa itu, jadi air limbah ini mengalir ke sungai dan membuat ikan-ikan mati. Limbah inilah yang mengalir ke sungai Cenaku dan sungai sekitar kami,” ungkap Syafii.
Selain kehilangan mata pencaharian dari sungai dan hutan, lahannya pun ikut musnah diserobot oleh Duta Palma. Lahan seluas 44 hektar milik kelompok tani Kuala Cenaku ini, diakui sebagai lahan garapan Duta Palma.
Hal senada juga diungkapkan oleh Umar Hasyim, seorang petani dari desa Kuala Mulia. Desa yang terdekat dengan pabrik pengolahan sawit ini, kini dirugikan dengan polusi udara yang semakin tinggi akibat asap buangan pabrik tersebut.
Kendati tidak pernah ada penelitian seputar dampak kesehatan terhadap warga, Umar mengakui, kini jumlah warga desa yang mengalami penyakit pernapasan semakin banyak.
“Banyak sekali orang sakit pernapasan sekarang ini di desa kami,” tanda Umar Hasyim.
Selain polusi, Umar Hasyim menambahkan, desanya pun mengalami dampak dari air limbah yang dihasilkan pabrik pengolahan sawit. Puncaknya tahun lalu, ketika padi tidak panen akibat kualitas air yang buruk yang digunakan dalam pertanian.
“Tahun lalu samasekali tidak ada panen, biasanya kami panen setidaknya sekali. Tapi tahun lalu, kami bahkan tidak bisa memanen apa pun dari lahan kami,” ungkapnya.
Masalah masih belum usai, Duta Palma hanya mengganti 450 hektar lahan, dari lebih dari 10 ribu hektar lahan yang dirampas bagi Desa Kuala Cenaku, dan 400 hektar bagi desa Kuala Mulia.
Namun lahan itu pun wajib ditanami dengan sawit, dan menjadi pengelolaan masyarakat, serta hasilnya harus dijual kembali kepada Duta Palma. Kesepakatan yang ditandatangani pihak desa dengan Duta Palma ini pun, masih belum terealisasi sepenuhnya hingga kini.
Masyarakat menuntut hak atas hutan mereka, di lahan yang dijanjikan oleh Duta Palma. Dalam perjanjian tersebut, Duta Palma menjanjikan lahan tersebut di wilayah PT Duta Palma I yang dekat dengan desa, namun kenyataannya, lahan yang dikembalikan kepada masyarakat ini terletak sangat jauh dari desa, dan bahkan masih menjadi bagian dari desa lain, dan terletak di Kabupaten Indragiri Hilir, bukan Indragiri Hulu.
“Dari perjanjiannya, kami mendapat lahan di dekat desa Kuala Cenaku. Namun kenyataannya perusahaan memberi kami lahan yang berkonflik, yang terletak jauh dari desa, dan tidak jelas kepemilikannya, antara desa Kuala Cenaku, desa Pancur, dan Penyaguan. Ini yang jadi masalah buat kami,” ungkap seorang warga.
Berbagai upaya, mulai dari pertemuan dengan pihak perusahaan, hingga unjuk rasa yang berakhir dengan bentrokan ditempuh oleh warga. Walhi Propinsi Riau mencatat, setidaknya di paruh pertama 2012 lalu, ada lima kali bentrokan dengan aparat terkait konflik lahan di Riau, termasuk salah satunya kasus di Indragiri Hulu ini.
Dua orang dilaporkan pernah cedera, dan satu orang bahkan bermalam di sel, akibat pecah konflik fisik antara masyarakat dan perusahaan ini di tahun 2010 silam.
Penghentian aktifitas Group Duta Palma tersebut dilakukan setelah Pemkab dan DPRD Inhu berkonsultasi dengan kementerian terkait, antara lain Kementrian Kehutanan (Kemenhut) RI dan Direktur Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian di Jakarta.
Pimpinan rapat yang juga ketua Komisi B DPRD Inhu Manahara Napitupulu ketika itu menegaskan, “Setelah didapatkan kepastian dari Kemenhut dan Dirjen Perkebunan di Kementrian Pertanian, Eksekutif (Pemkab Inhu) segera memberi teguran berupa peringatan tertulis, sebanyak dua kali berturut turut kepada PT Duta Palma Grup."
Apabila pihak PT Duta Palma Grup tidak mengindahkan teguran yang dilakukan Pemkab Inhu sebanyak dua kali berturut turut. Maka Bupati Inhu sesuai kewenanganya dapat mencabut izin yang dimiliki perusahaan tersebut, yaitu izin lokasi, izin usaha perkebunan budi daya (IUP-B), izin usaha perkebunan pengolahan (IUP-P) sesuai dengan izin yang dimiliki oleh perusahaan.
Namun, penyelesaian sementara kasus ini, tidak serta merta mengembalikan hak masyarakat atas tanah mereka yang hilang. Dalam berbagai kasus sebelumnya, kisah penyerobota yang dilakukan oleh Duta Palma, bahkan masuk peti es dan tidak terdengar kelanjutannya. Masyarakat sekitar masih akan tetap kehilangan akses mereka memasuki wilayah perkebunan, dan tentu saja, hutan yang sudah gundul dan tak bisa memberi mereka sumber pangan dan penghasilan lagi.
“Masih lemahnya perlindungan pemerintah terhadap tanah ulayat merupakan akar masalah konflik pertanahan. Walaupun secara yuridis, tanah ulayat diakui dalam Pasal 3 UU No 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA) namun bentuk pengakuannya terkesan setengah hati karena dilakukan dengan syarat-syarat, seperti sepanjang menurut kenyataannya masih ada, sesuai dengan kepentingan nasional, berdasarkan atas persatuan bangsa, tidak boleh bertentangan dengan UU dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi,” ungkap Wirendro Sumargo, Senior Forest Campaigner Greenpeace Indonesia.
Singkat kata, lemahnya koordinasi Rencana Tata Ruang Wilayah di level nasional, propinsi dan kabupaten, selalu membuka celah bagi pebisnis nakal untuk mengelabui peraturan. Lemahnya penegakan peraturan dan prosedur di level lokal, seperti Analisis Mengenai dampak Lingkungan, proses pembicaraan dengan masyarakat lokal, dan Izin usaha perkebunan yang jelas, menjadikan ekspansi bisnis rakus lahan seperti HTI dan kelapa sawit ini justru menjadi bumerang bagi masyarakat setempat, ketimbang membawa rezeki.
Penyebab lain di tingkat akar yang tidak mendapat perhatian adalah hilangnya akses masyarakat terhadap sumber pangan dan ekonomi mereka seperti sediakala, mengabaikan hak-hak masyarakat setempat dalam pengelolaan sumber daya alam, serta mengabaikan tuntutan ganti rugi yang sepantasnya juga menjadi titik api yang memantik konflik antara masyarakat dengan perusahaan.
Devisa negara, adalah satu hal. Namun, jika devisa diraih dengan mengorbankan hak-hak hidup yang layak bagi rakyat, saatnya negara ini harus berpikir ulang. Nikmat devisa dan pertumbuhan ekonomi, sesuai fitrahnya, adalah untuk meningkatkan hajat hidup dan kesejahteraan rakyat Indonesia, dan bukan sebaliknya.
Kasus Indragiri Hulu ini, adalah secuil dari berbagai kisah penyerobotan lahan dan hutan desa milik rakyat. Masih ribuan kisah lain yang terjadi, dan akan tetap terjadi di masa mendatang, jika pemerintah tidak tegas dalam memperbaiki kebijakan land reform dan land tenure mereka atas hak ulayat rakyat.***