Salah satu hal yang lagi hangat-hangatnya beberapa waktu belakangan ini adalah langkah Jusuf Kalla (JK) dalam kapasitas sebagai Ketua Umum Dewan Masjid Indonesia (DMI) membentuk tim pemantau pengeras suara masjid (speaker). Tim ini mengumpulkan fakta di lapangan perihal tingkatan kebisingan pengeras suara masjid. Atau dalam bahasa JK di beberapa kesempatan, pengeras suara yang menimbulkan “polusi suara”.
Dan lebih membingungkan lagi adalah ketika speaker masjid dikatakan sebagai sumber masalah. Speaker masjid sumber keributan. Seperti halnya pernyataan JK perihal tragedi umat Islam Tolikora, Papua. Padahal ada pembakaran masjid di sana. Pertanyaan kemudian adalah mengapa JK dalam kapasitas sebagai ketua umum DMI tidak membentuk tim pemantau untuk mengumpulkan fakta sebab musabab terbakarnya Mesjid Baitul Mutaqqin?
Di samping itu, betapa sulitnya mendirikan masjid di Tolikora, bahkan di Papua pada umumnya. JK dalam kapasitas sebagai ketua umum DMI mengapa hanya diam. Kaku seribu bahasa melihat realita ini. Padahal Majelis Ulama Indonesia punya data valid mengenai hal ini.
Di sisi yang lain, andaikata dalam realitanya ditemukan “polusi suara” itu, DMI mau apa? Apakah speaker-nya akan DMI ganti? Langkah apa yang akan dilakukan? Ingat, DMI itu hanyalah sebagai sebuah ormas. Tentu saja keputusannya tidak punya kekuatan eksekutorial. Lagipula tim pemantau seperti apa yang akan dibentuk. Berapa jumlah masjid di negeri ini. Banyak bukan?
Patut Disesalkan
Harus diakui, memang terkadang dalam praktiknya, ada juga pengurus masjid yang kurang bijak dalam penggunaan speaker masjid. Misalkan pada hari Jum’at, terkadang jam 8 pagi speaker sudah dinyalakan. Padahal di sekitar masjid sedang berlangsung aktivitas sekolah. Ditambah lagi dengan kualitas speakernya. Namun lagi-lagi jangan dikatakan itu sebagai “polusi suara”, tidak etis. Lagi pula yang dilantunkan itu adalah ayat-ayat Alquran.
Oleh karenanya, mengatasi penggunaan speaker yang kurang bijak itu, akan jauh lebih manis dilakukan dengan cara-cara yang elegan. Misalkan, JK cukup melakukan koordinasi dan rapat internal biasa. Sebab ini bukan persolan yang serius. Bukankah DMI di setiap provinsi dan kabupaten mempunyai kepengurusan. Kenapa harus buat tim pemantau?
Kemudian, sebagai tindak lanjut dari koordinasi dan rapat internal itu, bisa saja DMI mengeluarkan surat edaran agar pengurus masjid di seluruh wilayah Indonesia bijak dalam menggunakan speaker. Misalkan untuk hari-hari biasa, gunakan speaker sepuluh menit sebelum waktu saalat masuk. Hal ini dimaksudkan sebagai pertanda waktu sholat sebentar lagi masuk. Dan pada hari-hari besar keagamaan tidak ada soal. Begitu juga ketika ada ceramah agama.
Nah, tentunya sangatlah berbeda ketika membentuk tim pemantau, seolah-olah umat ini melakukan kesalahan yang begitu fatal. Dalam bahasa yang lain tidak toleransi, mengganggu masyarakat sekitarnya. Padahal selama ini tidak ada yang persoalan yang begitu serius karena penggunaan speaker.
Oleh karenanya, langkah JK ini patut disesalkan. Langkah yang menyudutkan umat ini. Terlebih lagi itu datang dari umat Islam itu sendiri, ketua umum DMI yang sekaligus merupakan wakil presiden di republik ini. Hal yang sederhana, dibesar-besarkannya. Hal yang besar dianggap sederhana seperti halnya pembakaran mesjid di Tolikora.
Lebih Urgen
Sebagai ketua umum DMI, masih banyak persoalan mesjid dan umat yang harus diperhatikan lebih serius, ketimbang memantau katanya sebagai “polusi suara” itu. Misalkan DMI mengajak bagaimana para dai dalam berdakwah dilakukan dengan cara-cara yang tidak propokatif dan hikmah. Berdakwah penuh dengan kelembutan. Alquran mengatakan; “Ajaklah manusia ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan nasihat yang baik. Dan debatlah mereka dengan cara yang paling baik. Sungguh Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang sesat dari jalan-Nya dan orang-orang yang mendapat petunjuk”. (QS. An-Nahl: 125)
Di samping itu, DMI juga harus memperhatikan mengapa banyak masjid yang sunyi dari jamaah. Apa yang salah denga masjid itu? Sebab beberapa masjid juga ramai akan jamaahnya. DMI harus cari tahu itu. Apakah karena imamnya yang kurang indah bacaannya. Atau bisa juga karena muazzinnya. Kalau keadaannya begitu, lakukan sertifikasi terhadap imam dan mu’azzinnya. Artinya bukan setiap orang lalu kemudian bisa jadi imam dan muazzin di masjid.
Dan, tak kalah pentingnya adalah perihal pembangunan mesjid yang dipersulit di beberapa daerah yang minoritas Islam di sana. Seharusnya DMI cari solusinya. Bukan memantau speaker yang bising. Seperti tak ada kerjaan saja.***
(Oleh: Wira Atma Hajri, SH, MH)Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Riau dan Anggota Majelis Dakwah Islamiyah Kota Pekanbaru.