Idul Fitri Momen Kesatuan Umat

Senin, 27 Juli 2015 - 10:05 WIB
ilustrasi


Hari Raya Idul Fitri adalah hari Raya kemenangan bagi umat Islam yang telah dengan sukses berperang melawan hawa nafsu selama satu bulan penuh yaitu dengan melaksanakan ibadah puasa Ramadhan sesuai dengan perintah Allah SWT dalam Alquran : “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, mudah-mudahan kamu menjadi orang yang bertakwa”(Q.S.Al-Baqarah:183). Melawan hawa nafsu, sebagaimana disebutkan dalam salah satu hadis Rasulullah SAW sebagai sebuah perang besar, melebihi dahsyatnya perang Badar.    
Idul fitri secara harfiah adalah kembali kepada fitrah, yaitu kesucian sebagaimana digambarkan dalam salah satu hadist Nabi: “Barang siapa yang melaksanakan ibadah puasa Ramadhan dengan iman dan mengharap ridha Allah SWT, maka diampunkan segala dosanya yang telah lalu, sehingga ia menjadi orng sebagaimana ketika dilahirkan oleh ibunya”. Bersih dari noda dan dosa seperti halnya kertas putih kosong yang belum tersentuh dan ternoda oleh sesuatu apapun juga.
Disebut kembali kepada fitrah yaitu kembali seperti ketika dilahirkan oleh ibunya, sesuai dengan sabda Nabi Muhammad SAW: “Setiap orang yang lahir ke dunia adalah dalam keadaan fitrah, maka kedua Ibu bapaknyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani dan bahkan Majusi”. Dengan ibadah puasa Ramadhan yang dijalankan selama satu bulan penuh, umat Islam kembali lagi kepada fitrahnya se
mula yaitu bersih dari noda dan dosa.
Persatuan dan Kesatuan Umat
Persatuan dan kesatuan umat adalah puncak dan sasaran akhir yang hendak dicapai dalam setiap ibadah dan amaliah dalam Islam. Persatuan dan kesatuan um
at adalah kata kunci tegak dan berdirinya daulah islamiyah. Persatuan dan kesatuan umat adalah penentu tegak dan berkembangnya hukum Islam dalam masya
rakat. Semua ibadah, pada umumnya sasaran akhirnya adalah persatuan dan kesatuan umat. Sholat, menghadap Allah SWT, diperintahkan untuk dilakukan secara berjamaah dan bahkan ada ulama yang mensyaratkan pelaksanaannya harus berjamaah, adalah dimaksudkan agar umat Islam saling kenal mengenal antara satu sama yang lain, sehingga terjalin ukhuwah islamiyah, yang pada gilirannya akan terbentuk persatuan dan kesatuan umat.
Pelaksanaan ibadah puasa Ramadhan yang diwajibkan kepada setiap individu muslim, salah satu hikmahnya adalah agar umat Islam yang berkecukupan dapat merasakan penderitaan para fakir miskin yang kadang sehari makan sehari tidak. Fakir miskin, berbeda dengan orang kaya. Orang kaya  hanya berpikir, “hari ini makan apa, makan dimana, dan bila perlu makan siapa”. Fakir miskin justru berpikir sebaliknya, hari ini “apa makan”. Hidupnya selalu dililit dengan kelaparan. Perasaan lapar setiap saat inilah yang harus dirasakan oleh setiap orang kaya yang berpuasa. Dengan demikian diharapkan, si kaya akan memberikan perhatian, belas kasihan, kesetiakawanan, zakat, infaq dan shodaqah  kepada orang miskin. Dengan demikian pula, akan terjalin hubungan yang harmonis, dinamis dan saling menguntungkan antara si kaya dengan si miskin, sebab sama-sama membutuhkan. Bila hal ini terjadi, maka akan terjalin pula persatuan dan kesatuan umat.   
Hal yang sama juga berlaku bagi pembayaran zakat, infak dan sedekah (ZIS) kepada fakir miskin. Salah satu hikmah dari pembayaran ZIS adalah adanya kepedulian dan perhatian antara orang kaya dengan orang miskin. Jika hal ini terjalin, maka akan lahir rasa persaudaraan, senasib sepenanggungan dan pada gilirannya terbentuk apa yang disebutkan Nabi Muhammad SAW: Orang islam dengan Islam lainnya seperti sebuah bangunan kokoh yang menyangga antara satu sama yang lainnya.
Ibadah haji yang diwajibkan kepada umat Islam sekali dalam seumur hidup, mempunyai tujuan yang sama  yaitu lahirnya persatuan dan kesatuan umat. Jamaah haji yang adalah representasi perwakilan umat Islam internasional, berkumpul jadi satu, di tempat yang satu, di waktu yang satu, melaksanakan ibadah yang satu, dan untuk menggapai tujuan yang satu yaitu memenuhi panggilan Allah SWT. Ibadah haji ini juga sangat kental dengan persatuan d an kesatuan umat, apalagi saat wuquf di Arafah. Perwakilan umat Islam seluruh dunia berkumpul di tempat ini, melakukan kegiatan yang sama, saling berkomunikasi dan berdiskusi masalah-masalah aktual yang dihadapi umat Islam di Negara masing-ma sing, sekaligus mencarikan solusi pemecahannya.
Perbedaan Lahirkan Bibit Perpecahan
Tahun ini kita patut berbangga dan bahkan bersyukur kepada Allah SWT, ternyata umat Islam Indonesia, sebuah negeri yang dikenal penduduk muslimnya terbesar di dunia, mengalahkan penduduk negara-negara Islam di Timur Tengah yang notabene tempat lahirnya agama Islam, merayakan hari Raya Idul Fitri 1 Syawal 1435 H secara bersamaan, termasuk dalam memasuki puasa Ramadhan, sekalipun ada sebahagian kecil lain seperti jamaah Thariqat Naqsabandiyah di Kota Padang yang melaksanakan ibadah puasa Ramadhan dan merayakan Idul Fitri 1436 H, dua hari sebelum penetapan ijtima’, ada pula yang mendahului satu hari dan lain sebagainya.
Kita tentu sangat miris sebagaimana pengalaman tahun-tahun sebelumnya, dimana memasuki puasa Ramadannya berbeda, dan bahkan merayakan hari raya Idul Fitrinyapun berbeda. Perbedaan penetapan tanggal satu, pada hari-hari yang terkait langsung dengan kegiatan keagamaan ini, sungguh mengherankan kalau bukan menggelikan, sebab di negeri ini hidup para pakar yang ahli dalam berbagai bidang yang terkait dengan penetapan awal bulan, perguruan tinggi Islamnya bertebaran di mana-mana, pondok pesantren tumbuh bagaikan jamur di musim hujan, profesor doktornya juga lumayan banyak. Tapi sungguh menggelikan, menetapkan awal bulan Qomariyah saja tidak bisa disatukan (Maasya Allaah). Adalah Jusuf Kalla (JK), mantan Wakil Presiden RI yang saat ini terpilih lagi jadi Wakil Presiden RI mendampingi Presiden RI terpilih Jokowidodo, pernah menawarkan solusi untuk menyatukan perbedaan ini, namun kurang mendapat tanggapan dari pemimpin-pemimpin agama negeri ini. Tentu kita berharap, agar Bapak JK, setelah menjadi Wakil Presiden kembali, dapat melanjutkan ide kreatifnya untuk persatuan dan kesatuan umat Islam Indonesia.
Perlu disadari bahwa perbedaan penetapan awal bulan Ramadhan, awal bulan Syawal dan 10 Zulhijjah ini, tidak menutup kemungkinan menjadi bibit-bibit perpecahan pada tingkat akar rumput di kalangan umat Islam. Pada tingkat elite, mungkin perbedaan ini tidak ada masalah, sebab mereka dapat memahami bahwa perbedaan itu adalah rahmat dan mereka juga menganggap bahwa perbedaan lebaran itu lumrah saja terjadi di negeri ini, sekalipun disadari bahwa di negeri lahirnya Islam, tidak pernah terjadi perbedaan dalam menetapkan awal bulan yang terkait dengan kegiatan keagamaan. Konon kabarnya, di negeri lahirnya Islam, dalam hal ini Arab Saudi, penetapan 1 Ramadhan, 1 Syawal dan 10 Zulhijjah adalah wewenang Raja, hanya Rajalah yang berhak menetapkan dan mengumumkannya. Apabila ada orang, baik perseorangan maupun kelompok, apalagi ormas keagamaan, yang mengumumkan hal itu di luar ketetapan kerajaan, maka perbuatan itu dianggap makar dan akan ditangkap serta diadili sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Apa yang kita alami saat ini, dimana puasa Ramadhan diawali secara bersamaa dan Idul Fitri juga dirayakan secara bersamaan, adalah sebuah pengalaman yang sangat indah dan sangat menyejukkan hati setiap umat, yang telah meraih kemenangan pasca Ramadhan. Kita berharap, pengalaman tahun ini, dapat dijadikan pijakan untuk melakukan hal yang sama pada tahun-tahun mendatang. Tentunya peran Kementerian Agama bersama MUI dan pimpinan Ormas keagamaan Islam sangat penting dan strategis, sebab pendapat mereka akan menjadi pedoman bagi umat pada tingkat akar rumput.***

(Oleh: H Ahmad Supardi Hasibuan, MA)Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten Rokan Hulu.
 

Editor:

Terkini

Terpopuler