MK, Dinasti Politik dan Etika

Kamis, 23 Juli 2015 - 12:11 WIB
ILUSTRASI

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) adalah putusan final dan mengikat, pertama dan terakhir. Bukan berarti pula harus diterima begitu saja argumentasi yang dibangun MK itu tanpa publik melakukan kajian dan perdebatan ilmiah, terlebih lagi bagi dunia kampus. Termasuk putusan MK Nomor 33/PUU/XIII-2015 yang mencabut larangan bagi keluarga petahana untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah dan menyatakan bertentangan dengan UUD 1945.
Sebab, boleh jadi suatu masa  nantinya DPR dan Presiden memuat kembali pasal yang sama. Lalu kemudian ada yang yang menggugat ke MK. Dan tidak mustahil kalau MK menyatakan hal yang berbeda dengan hari ini. Artinya “larangan bagi keluarga petahana untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah” tidaklah bertentangan dengan UUD 1945.
Sejarah mencatat, misalkan saja pada tahun 2007 MK mengatakan bahwa calon perorangan dalam pemilihan kepala daerah tidaklah bertentangan dengan UUD 1945. Padahal, sebelumnya tahun 2004, juga ada yang menggugat persoalan yang sama ke MK, namun MK menolak untuk meakomodir calon perorangan.
Begitu juga perihal upaya hukum Peninjauan Kembali (PK). Dulunya MK mengatakan bahwa PK itu hanya sekali. Hari ini MK mengatakan PK itu lebih dari sekali.
Sehingga dapat dipahami bahwa yang final dan mengikat, pertama dan terakhir itu adalah formalitasnya, namun tidak materi/substansi apa yang gugat (undang-undang). Artinya putusan MK yang ada memang tidak bisa digugat. Harus diterima apa adanya. Suka atau tidak suka Namun kalau tidak puas dengan putusan MK yang telah ada itu, pada masa yang akan datang andaikata DPR dan Presiden memuat kembali larangan itu, ajukan gugatan lagi seperti halnya dalam kasus calon perorangan dan PK. Objek yang sama dengan putusan yang berbeda.
Catatan
Terlepas MK telah mencabut “larangan bagi keluarga petahana untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah”, ada beberapa catatan dalam hal ini.
Pertama, MK menyatakan bahwa “larangan bagi keluarga petahana untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah” adalah muatan yang diskriminatif.
Alasan MK memahami apa itu diskriminasi adalah keliru. Berdasarkan Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang (UU) 39/1999 tentang HAM menyebutkan bahwa: “Diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individu maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, social, budaya, dan aspek kehidupan lainnya”.
Kedua, MK tidak konsisten dalam argumentasinya. Bagi MK, “larangan bagi keluarga petahana untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah” adalah pembatasan yang bersifat kolektif, dan itu tidak dapat dibenarkan. Pembatasan hanya dibenarkan secara individual, bukan kolektif. Dan itupun oleh putusan pengadilan.
Nah, bagaimanakah dengan hak politik untuk memilih TNI/Polri? Bukankah itu pembatasan kolektif? Artinya semua anggota TNI/Polri tidak diberikan hak pilih. Lalu kemudian mengapa MK dalam Putusannya Nomor 22/PUU-XII/2014 dalam pengujian UU (judicial review) Pasal 260 UU Nomor 42/2008 mengenai hak politik TNI/Polri, MK menolaknya? Bukankah hal itu juga hal yang bersifat diskriminasi seperti tertera pada Pasal 1 Ayat (3) UU 39/1999 terutama perihal pembatasan atas dasar kelompok?
Ketiga, dalam suatu kesempatan, pasca putusan MK Nomor 33/PUU/XIII-2015, perihal dinasti politik ketua MK minta Indonesia mencontoh Amerika. Baginya dalam negara modern termasuk di Amerika tidak ada larangan dinasti politik.
Perlu dipahami, kalau di Amerika politik dinasti memang tidak ada soal. Sebab mereka sudah matang dalam berpolitik. Dan kita, belum siap untuk itu. Faktanya kepentingan politik keluarga yang kental dari pada kepentingan masyarakat banyak.
Oleh karenanya, seharusnya MK tidak hanya melihat dalam tataran konseptual dan ralitas politik di negara lain, namun lihatlah realitas politik daerah di tanah air, sangat tidak sehat.
Carl von Savigny menyatakan bahwa: ”...... karena hukum itu bersumber dari volgeist (jiwa bangsa). Oleh karena jiwa dari setiap bangsa berbeda-beda, maka hukum dan semua unsur yang terkandung di dalamnya pun berbeda antara hukum bangsa satu dengan bangsa lannya”.
Jadi sudah seharusnya kita berhukum dengan memperhatikan kondisi faktual yang ada. Bukan serta merta merujuk negara lain.
Keempat, seharusnya MK juga memperhatikan etika/kepantasan, tidak hanya mendasarkan kepada pasal-pasal UUD 1945. Di atas hukum itu ada etika. Di atas hukum itu ada kepantasan. Bagaimana pula misalkan seorang kepala daerah pasca berakhir masa jabatannya itu kemudian dilanjutkan oleh anak atau isteri atau menantunya.***

Dosen Hukum Tata Negara UIR

Editor:

Terkini

Terpopuler