Hj Ade Hartati, MPd
(Anggota DPRD Riau)
Puasa Ramadan merupakan ibadah yang wajib bagi orang-orang beriman, sebagaimana diperintahkan Allah SWT dalam surah Albaqarah ayat 183. Namun ada satu hal yang harus dipahami, bahwa esensi ibadah puasa bukan hanya sekadar menahan diri dari nafsu makan, minum, seks dan sebagainya. Namun, dalam puasa juga terdapat ibadah-ibadah lain yang bersifat kultural yang dianjurkan syariat Islam untuk meraih kemuliaan dan kesempurnaan kemanusiaan kita.
Dengan dimensi kultural ini, setiap muslim sebenarnya dituntut tidak hanya memperbaiki dan meningkatkan ketakwaannya kepada Allah (hablumminallah), tetapi juga mengembangkan imajinasi dan kreativitasnya dalam mewujudkan nilai-nilai kebenaran, kebajikan dan kesetaraan terhadap sesama (hablumminannas). Kesalehan individual dan kesalehan sosial adalah dua sisi dari koin iman yang sama.
Puasa semestinya memberikan peluang terjadinya metamorfosis spiritual yang berdampak terhadap hidup yang lebih dinamis dan progresif, yang mampu meraih esensi dan mengolah fungsi kulturalnya sesuai dengan kebutuhan zaman. Maka, lewat niat dan praksis puasa semacam itu, ramadan semestinya jauh dari kecenderungan yang selebratif.
Bagaimana semua itu kemudian terkait dengan persoalan dan eksistensi kaum perempuan? Secara formal, jawaban sebenarnya jelas karena dalam syariat Islam, tidak ada perbedaan apa pun bagi laki-laki dan perempuan untuk melaksanakan puasa. Seperti firman Allah SWT dalam surat Al-Baqarah ayat 183: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”.
Dalam ayat tersebut Allah SWT menyeru kepada orang-orang yang beriman baik itu laki-laki dan perempuan. Akan tetapi, secara kultural, pertanyaan di atas dapat menjadi renungan. Sebab, dalam kenyataannya, pada bulan yang dimuliakan itu, kaum perempuan selalu mendapat halangan dalam menjalankan ibadahnya. Dari mulai menstruasi, hamil, melahirkan dan menyusui merupakan fakta-fakta biologis yang menyebabkan perempuan tidak sepenuhnya dapat melaksanakan puasa sepanjang bulan.
Oleh karena itu, jika kita tidak memahami maksud dan tujuan syariat Islam serta fikih-fikih yang berkenaan dengan perempuan pada bulan puasa, bisa jadi akan timbul dugaan bahwa Islam kurang ramah terhadap spiritualitas perempuan. Namun, sebaliknya, jika halangan-halangan puasa tersebut direnungkan secara lebih mendalam, sungguh, bulan Ramadan merupakan anugerah bagi kaum hawa untuk meraih kearifan dan kebijaksanaan Ilahiah.
Suatu kenyataan spiritual yang secara spesifik tak mungkin dialami oleh kaum laki-laki. Tidak berpuasanya sebagian perempuan karena proses reproduksi adalah wujud ketaatannya terhadap perintah Allah. Tugas reproduksi adalah sesuatu yang given dari Allah, dan itu merupakan sebuah anugerah yang mulia demi keberlangsungan umat manusia.
Manfaat Sosial
Di bidang sosial-budaya, ”hambatan” perempuan di atas sungguh akan menjadi sebuah kearifan ketika waktu dan tenaga yang didapatkannya dipergunakan untuk melakukan berbagai aktivitas sosial, dalam sebuah intensi yang juga bernilai spiritual.
Dengan demikian, ibadah tidak hanya memproduksi makna dan kenyamanan spiritual sebagaimana diamanatkan oleh syariat, tetapi juga memberikan makna dan manfaat sosial bagi manusia lain.
Di titik itu, sesungguhnya perempuan memperoleh kesempatan sangat berharga dalam memuliakan agama, diri, dan memuliakan manusia pada umumnya. Inilah anugerah yang tak dapat disembunyikan, yang dapat berbuah nyata. Sesungguhnya, Dia Yang Maha Pencipta, telah menciptakan perempuan dalam kelebihan-kelebihan.
Apabila hal-hal di atas dapat terjadi, kita dapat memahami bahwa agama Islam dan ritus-ritus sucinya adalah sumbangan terbesar bagi berkembangnya tradisi serta kebudayaan sebuah masyarakat. Masyarakat apa dan di mana saja. Islam yang sesungguhnya rahmatan lil alamin. Rahmat untuk mencapai kesejahteraan dunia dan kedamaian akhirat seperti yang termaktub dalam Alquran surat Al-Anbiya ayat 107:
"Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam (rahmatan lil’alamin),". ***