Sebentar lagi kita akan mengakhiri puasa Ramadan. Banyak kalangan bertanya-tanya, kapan Idul Fitri? Bersama ataukah ada perbedaan?
Dasar penetapan Idul Fitri pada dasarnya berlandaskan pada hadis, "Berpuasalah karena melihat hilal dan berbukalah karena melihat hilal. Apabila tertutup awam, maka sempurnakanlah."
Dari hadis ini secara garis besar memunculkan perbedaan pemahaman, yakni aliran rukyat dan aliran hisab. Hal ini wajar karena hadis ini masih mengandung (muhtamil) beberapa arti, di antaranya rukyah bil ilmi (yang melahirkan aliran hisab) dan rukyah bil ain (yang melahirkan aliran rukyat).
Bahkan di Indonesia terdapat banyak aliran dampak dari perbedaan pemahaman , dalam wacana penetapan awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijah selama ini adalah aliran rukyat satu wilayah negara (rukyah fi wilayatil hukmi) yang dipakai Nahdlatul Ulama, aliran hisab wujudul hilal yang dipakai Muhammadiyah, dan hisab imkanurrukyat yang dipakai pemerintah.
Walaupun ada aliran rukyat internasional yang dipakai oleh Hizbut Tahrir, aliran kejawen, dan lainnya. Apalagi masing-masing aliran juga sering kali mengeluarkan fatwanya. Wajar jika sering terjadi perbedaan.
Menurut perhitungan hisab hakiki kontemporer, ijtima’ (konjungsi matahari dan bulan akhir Ramadhan 1436 H terjadi pada Kamis legi, 16 Juli 2015/29 Ramadhan 1436 H pada pukul 08.25.30 WIB. Saat matahari terbenam pada Kamis 16 Juli 2015, tinggi bulan di wilayah Indonesia sudah positif. Di Pelabuhan Ratu, misalnya, tinggi bulan mencapai +2 derajat 42 menit.
Mengingat posisi bulan tersebut secara hisab dengan kriteria wujudul hilal maupun kriteria imkanurrukyat 2-3-8 sudah dapat memastikan bahwa awal Syawal 1436 H pada 16 Juli 2015 (setelah Maghrib). Bagaimana dengan rukyat pada Kamis 16 Juli 2015? Apakah para ahli rukyat dapat berhasil melihat hilal atau citra hilal pada 16 Juli 2015?
Mengingat posisi bulan dan matahari pada 16 Juli 2015, hilal tersebut tergolong sulit untuk bisa diamati walaupun memenuhi kriteria imkanurrukyat 2-3-8. Kesempatan untuk pengamatan hilal setelah matahari terbenam relatif sangat singkat.
Di Pelabuhan Ratu, misalnya, matahari terbenam pada pukul 17.51 WIB dan disusul bulan terbenam pukul 18:06 WIB atau 15 menit setelah matahari terbenam. Elongasi atau jarak sudut matahari dan bulan mencapai 5 derajat 14 menit pada pukul 17:51 WIB. Sedangkan, elongasi matahari dan bulan mencapai 4 derajat 55 menit pada pukul 14:00 WIB.
Dukungan cuaca yang relatif kering pada Juni maupun Juli memberikan harapan keberhasilan pengamatan hilal awal Syawal 1436 H. Walaupun rukyat pada Kamis 16 Juli 2015 dilakukan dengan teleskop pada siang hari, citra hilal yang telah memenuhi kriteria 2-3-8 tergolong sangat sukar diamati.
Pengamatan hilal siang hari (sebelum matahari terbenam) selain dimaksudkan memperoleh citra sabit bulan yang akan menjadi cikal bakal hilal yang dapat diamati dengan mata bugil, juga untuk mengetahui gerak harian dan posisi bulan setiap saat sehingga pengamatan hilal dapat berkonsentrasi ke arah yang ditunjukkan oleh teleskop untuk mencegah kekeliruan objek langit yang akan diamati.
Untuk seluruh wilayah Indonesia dari Merauke sampai Sabang ketinggian hilal mar’i dari +01 derajat 39 menit sampai +02 derajat 55 menit. Pelabuhan Ratu, Jawa Barat, yang biasa dinyatakan berhasil melihat hilal dengan ketinggian hilal mar’i +02 derajat 25 menit.
Dari data hisab ini dapat dipastikan bahwa Muhammadiyah (aliran hisab wujudul hilal) akan berhari raya pada Jumat pahing, 17 Juli 2015, karena jelas ketinggian hilal sudah di atas ufuk. Begitu pula pemerintah jika memang konsisten dengan prinsip hisab imkanurrukyat, mestinya walau tetap menunggu hasil pelaksanaan rukyatul hilal pada sore hari Kamis legi, 16 Juli 2015, tapi ketinggian hilal menurut standar "tradisi Indonesia 2 derajat" biasanya dapat dilihat (dirukyat) sehingga tentunya akan menetapkan 1 Syawal 1436 H jatuh pada Jumat pahing, 17 Juli 2015 sehingga puasa Ramadannya hanya 29 hari.
Sedangkan, Nahdlatul Ulama yang memakai aliran rukyat dalam satu wilayah negara (rukyah fi wilayatil hukmi), penentuannya masih menunggu hasil rukyat yang dilakukan pada sore hari, Kamis legi, 16 Juli 2015. Namun, mestinya Nahdlatul Ulama dapat mempertimbangkan hasil hisab yang menunjukkan ketinggian hilal yang "ditradisikan" di Indonesia bisa dilihat, yakni 2 derajat.
Apalagi di Nahdlatul Ulama juga banyak pakar hisab yang terwadahi dalam Lajnah Falakiyyah Nahdlatul Ulama. Karena Indonesia termasuk daerah yang sulit untuk rukyat karena tropis (curah hujan termasuk tinggi). Apalagi menurut ramalan BMKG ada kemungkinan mendung, jika Nahdlatul Ulama "patent" harus dengan hasil rukyatul hilal, jika terlihat akan ber-Idul Fitri sama, yakni Jumat, 17 Juli 2015.
Namun, jika tidak berhasil dilihat, harus menyempurnakan 30 hari bulan puasa (istikmal), yang berarti Jumat pahing, 17 Juli 2015 masih tanggal 30 puasa Ramadan. Sedangkan, Hari Raya Idul Fitri pada Sabtu pon, 18 Juli 2015.
Karena ini masalah fikih sosial, kiranya penetapan awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijah ini idealnya jika kita sepakat untuk bersama-sama, cukup ada satu ifta atau itsbat dalam satu negara sebagaimana negara lain, seperti Malaysia, misalnya, percaya pada ifta atau itsbat pemerintah.
Sehingga kebersamaan akan dapat terwujud dengan baik, sebagaimana kaidah fikih hukmul hakim ilzamun wa yarfa’ul khilaf (penetapan pemerintah menyelesaikan dan menghilangkan perbedaan). Tidak seperti selama ini, masing-masing ormas mengeluarkan fatwa, walaupun mereka juga ikut sidang itsbat yang digelar pemerintah.
Snouck Hurgronje (orientalis Belanda) pernah mengatakan , "Tak usah heran jika di negeri ini (Indonesia) hampir setiap tahun timbul perbedaan tentang awal dan akhir puasa. Bahkan terkadang perbedaan itu terjadi antara kampung yang berdekatan."
Merujuk pada hasil hisab di atas kiranya Idul Fitri 1436 semoga ada tim yang berhasil melihat hilal agar tidak terjadi perbedaan, yakni pada Jumat pahing, 17 Juli 2015. Kompak merayakan Idul Fitri kiranya lebih enak daripada merayakan pada hari yang berbeda karena akan lebih terasa nikmat, syiar agama lebih baik.(rol)
(Oleh: Ahmad Izzuddin)Ketua Umum Asosiasi Dosen Falak Indonesia, Dosen UIN Walisongo Semarang.