Assessment dan Terapi Pengguna Narkotika

Selasa, 30 Juni 2015 - 09:45 WIB
ilustrasi


Pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika adalah “orang sakit” yang wajib menjalani pengobatan dengan menempatkan mereka ke dalam lembaga rehabilitasi. Pertimbangan tersebut berdasarkan pada kenyataan bahwa sebagian besar pelaku kasus narkotika termasuk dalam kategori korban penyalahguna dan korban narkotika yang secara tidak langsung merupakan orang sakit.
Penempatan pecandu dan korban penyalahguna narkotika kedalam lembaga rehabilitasi sesuai dengan tujuan Undang-undang No. 35/2009 tentang narkotika yaitu pasal 4 huruf d yang menyebutkan untuk menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan sosial bagi penyalahguna dan pecandu narkotika. Selain itu pasal 127 dengan memperhatikan pasal 54, 55, dan 103 dapat dijadikan panduan untuk menjatuhkan putusan rehabilitasi terhadap pecandu dan penyalahguna narkotika, secara spesifik penempatan rehabilitasi bagi pecandu dan korban penyalahguna narkotika yang sedang menjalani proses hokum juga diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 25 tahun 2011 tentang Pelaksanaan Wajib Lapor Pecandu Narkotika, Surat Edaran Makamah Agung Nomor: 07/2009 tentang Menempatkan Pemakai Narkoba kedalam Terapi dan Rehabilitasi, dan Peraturan Bersama tentang Penanganan Pecandu Narkotika Dan Korban Penyalahgunaan Narkotika ke Dalam Lembaga Rehabilitasi.
Dalam menentukan diagnosis gangguan penggunaan narkotika, ada dua langkah yang bisa dilakukan: pertama, skrining dengan menggunakan instrument tertentu. Tujuannya untuk mendapat informasi adakah suatu faktor risiko atau masalah yang terkait dengan penggunaan narkotika. Sedangkan untuk mendapatkan gambaran klinis dan masalah yang telah mendalam dilakukan asesmen klinis, yang bertujuan untuk menciptakan komunikasi dan interaksi terapeutik, membangun diagnosis, serta memberikan umpan balik.
Penyedia layanan rehabilitasi Napza harus melakukan asesmen (assessment, red) untuk setiap klien yang datang. Hal ini sangat diperlukan mengingat hasil asesmen menjadi alat bantu dalam menyusun rencana terapi dan menegakkan diagnosa. Selain itu, assessment dilakukan secara berkala (setiap 6 bulan) guna memperoleh gambaran hasil terapi terhadap diri klien. Tidak kalah penting, hasil assessment merupakan dokumen otentik resmi yang dapat menjadi dasar bagi petugas kesehatan dalam memberikan keterangan bagi penegak hukum apabila klien tertangkap tangan menggunakan Napza.
Adapun  pertanyaan wawancara yang diajukan dalam pelaksanaan asesmen, antara lain: 1)Informasi Demografis, terdiri dari status perkawinan dan pendidikan terakhir. 2) Status Medis, terdiri dari riwayat penyakit kronis dan riwayat rawat inap yang tidak terkait narkotika. 3) Status Pekerjaan/ Dukungan Hidup. 4) Status Penggunaan Narkotika (usia pertama kali pakai, zat yang digunakan, perubahan yang dirasakan, overdosis, keinginan menggunakan dan sugesti). 5) Status Legal (dalam urusan polisi, pernah dipenjara, menunggu putusan pengadilan), 6) Riwayat Keluarga/Sosial. 7) Status Psikiatris.
Pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika sebagai tersangka dan/atau terdakwa penyalahgunaan narkotika yang ditangkap dengan barang bukti melebihi dari jumlah tertentu dan positif memakai narkotika berdasarkan hasil tes urine, darah, rambut, atau DNA setelah dibuatkan Berita Acara Pemeriksaan Hasil Laboratorium dan Berita Acara Pemeriksaan oleh penyidik dan telah dinyatakan dengan hasil assessment dari Tim Asesmen Terpadu (TAT), tetap ditahan di rumah tahanan Negara atau cabang rumah tahanan Negara di bawah naungan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, serta dapat diberikan pengobatan dan perawatan dalam rangka rehabilitasi ( Pasal 4 Ayat 4 Peraturan Bersama tentang Penanganan Pecandu Narkotika Dan Korban Penyalahgunaan Narkotika ke Dalam Lembaga Rehabilitasi).
Tim Asesmen Terpadu terdiri dari Tim Dokter dan Tim Hukum. Tim Dokter terdiri dari dokter umum atau dokter spesialis kedokteran kesehatan jiwa atau dokter spesialis forensic dan/atau psikolog, beranggotakan minimal 2 (dua) orang dari Institusi Penerima Wajib Lapor (IPWL) yang sudah tersertifikasi oleh Kemenkes atas rekomendasi dari Kementerian Kesehatan untuk Tim Asesmen tingkat Pusat, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi/Kabupaten/Kota untuk Tim Asesmen ditingkat Provinsi/Kab/Kota. Sedangkan Tim hukum beranggotakan masing-masing 1 (satu) orang terdiri dari unsur POLRI (ditunjukoleh Dir IV Narkoba, DirNarkoba Polda, atau Kasat Narkoba Polres), unsur BNN (Penyidik lain yang ditunjuk oleh Deputi Pemberantasan/Kepala BNNP/BNNK), unsure Kejaksaan (jaksa yang ditunjuk), dan Kemenkumham (BAPAS) apabila tersangka adalah anak-anak.
Adapun Mekanisme Pelaksanaan Asesmen Terpadu, diatur sebagai berikut: 1) Tim Asesmen Terpadu melakukan asesmen berdasarkan tertulis dari penyidik. Penyidik mengajukan permohonan paling lama 1x24 jam setelah penangkapan, dengan tembusan kepada Kepala BNN setempat sesuai dengan tempat kejadian perkara. 2) Tim Asesmen Terpadu melakukan asesmen maksimal 2x 24 jam, selanjutnya hasil asesmen dari tim dokter dan tim hukum disimpulkan paling lama 3 hari ketiga. 3)  Hasil Asesmen dari masing-masing tim asesmen dibahas pada pertemuan pembahasan kasus (case conference) pada hari keempat untuk ditetapkan sebagai  rekomendasi Tim Asesmen Terpadu.
Rekomendasi Tim Asesmen Terpadu berisi keterangan mengenai peran tersangka dan/atau terdakwa dalam tindak pidana, tingkat ketergantungan penyalahguna narkotika, rekomendasi kelanjutan proses hukumnya dan tempat serta lama waktu rehabilitasi. Rekomendasi Tim Asesmen terpadu di ditandatangani oleh ketua Tim Asesmen Terpadu. Dalam kepentingan peradilan hasil rekomendasi Tim Asesmen Terpadu dilampirkan dalam berkas perkara tersangka harus asli bukan dalam bentuk foto copy.
Rekomendasi inilah yang menjadi dasar pertimbangan seorang hakim untuk menetapkan apakah tersangka terbukti dan dapat dibuktikan sebagai korban penyalah guna atau terbukti sebagai pelaku tindak pidana Narkotika atau Prekusor Narkotika.***
(Oleh: Dian Arizka) Fasilitator Seksi Rehabilitasi BNN Kota Batam.

Editor:

Terkini

Terpopuler