Ramadan adalah bulan agung yang penuh berkah. Bahkan saking agungnya banyak sebutan untuk Ramadan. Ada yang menyebutnya Sahrul Shabr (bulan sabar), Syahrut-Tarbiyah (bulan pendidikan), Syahrul Ibadah (bulan ibadah). Artinya, Ramadan merupakan “bonus” Allah untuk manusia agar kembali normal atau fitrah. Kembali menjadi manusia yang lakunya selaras dengan tuntutan Sang Pencipta.
Sekarang Ramadan kembali datang menjumpai kita. Bisa jadi yang ke-20, ke-30, ke-40, ke-50, ke-60 kali atau lebih, kita kedatangan Ramadan. Pertanyaan yang selalu menyeruak di hati adalah, benarkah setiap Ramadan berkunjung, kita memperoleh untung? Benarkah limpahan bonus pahala telah kita raih? Atau jangan-jangan semua Ramadan yang kita lewati tak memberi arti alias rugi. Maknanya, kita hanya bergelut dengan lapar dan dahaga saja, tapi tidak memperoleh berkah.
Ada beberapa hal yang membuat seseorang tidak memperoleh keuntungan dan berkah Ramadan.
Pertama, orang yang tidak mau minta maaf (baca: taubat) kepada Sang Khalik. Menyadari kekhilafan dan kesalahan adalah penting dalam membentuk kesadaran dan hakikat diri. Persoalan dosa adalah sisi manusiawinya manusia, sebab laku ini menjadi indikasi bahwa dia adalah manusia, yang tidak berdosa atau maksum hanyalah insan yang bergelar nabi. Akan tetapi, ketika manusia tidak sadar akan dosa dan larut dalam lautan maksiat, membuat hati insan menjadi terhijab dari kebenaran. Alhasil, ketika limpahan kebaikan datang pada Ramadan tidak bisa mengundang diri mengenal hakikat diri. Yang ada hanyalah ritual yang tidak lahir dari hati yang bersih.
Kedua, orang yang memutus jalinan silaturahim dengan sesama insan. Allah memerintahkan kita untuk menjalin silaturahim (QS.ar-Ra’d:21). Hubungan baik secara vertikal tidak serta merta memberikan garansi, bahwa Allah akan memberikan limpahan keuntungan Ramadan. Semuanya berkorelasi dengan syarat dan ketentuan yang berlaku yang ditetapkan Allah. Yakni memperbaiki kualitas hubungan horizontal dengan sesama manusia. Menyelesaikan segala sengkarut dan perselisihan yang terjadi antara orang tua dan anak, suami dan istri, karib kerabat, handai tolan, jiran-tetangga dan sesama anggota masyarakat. Mengurainya dan kemudian menjalin kembali menjadi sulaman-sulaman maaf yang indah.
Berbeda dengan mengaku salah kepada yang Allah yang bisa dilakukan secara mudah. Meminta maaf dan memaafkan salah manusia adalah berat dan diperlukan kebesaran jiwa. Semua ini akibat balutan egoisme dan keangkuhan jiwa manusia. Kebesaran duniawi kita dengan segala simbol-simbolnya tanpa sadar telah melahirkan hati-hati yang keras dan jauh dari nur ilahi. Akibatnya, pertelagahan dan konflik mudah terjadi, bahkan oleh masalah-masalah kecil dan tidak substansial.
Kini, keras dan angkuhnya hati, mari dijajal dengan melakukan aksi nyata menjalin silaturahim. Datangi dan kunjungi orang tua, ayah-bunda, emak dan bapak yang telah tersakiti oleh laku kita. Siapa pun kita pada hari ini, pejabat tinggi, pengusaha kaya, intelektual yang bergelar profesor sekalipun, semuanya lahir berkat jerih payah dan doa orang tua. Terkadang dengan kebesaran itu semua, kita menganggap diri kita lebih berkuasa dan pintar dari orang tua. Sehingga kita berani “melawan” dengan menyuruh mereka datang ke rumah kita, bukan kita yang berkunjung ke rumah lusuh mereka, di mana kita dibesarkan dengan tetesan peluh dan jerih payahnya.
Demikian juga berlaku bagi pasangan suami-istri. Rajut kembali cintah kasih yang mulai terkoyak oleh sikap dan egoisme diri. Kembali menata dan saling memahami potensi masing-masing. Ulurkan maaf yang disertai hati yang tulus kepada suami atau istri. Barangkali dalam mengayuh bahtera rumah tangga banyak sikap dan perbuatan yang mengganggu lajunya bahtera. Seperti sikap tidak bersyukur terhadap penghasilan suami, tidak menghargai peran dan layanan isteri. Bagi teman sejawat, sanak saudara, mari saling memaafkan dan kubur dalam-dalam dendam kesumat.
Kebersihan dan kejernihan hati dengan bertaubat dan merajut silaturahim adalah pintu gerbang untuk menangkap nur ilahi dan keberkahan Ramadhan. Langkah berikutnya mengisi Ramadan dengan amal ibadah. Menempa diri dengan menahan dari segala godaan nafsu duniawi. Membasahi lisan dengan untaian Alqur’an dan ungkapan sopan-santun sesama insan. Menundukkan keangkuhan, mengadu segala duka dan persoalan hidup dengan bersujud kepada ilahi di siang dan dinihari. Hanya dengan langkah dan laku inilah limpahan bonus dan berkah yang dijanjikan Ramadhan bisa kita raih. Walhasil, kita akan beruntung menjadi insan-insan bertaqwa sebagai buah dari menjalankan ibadah puasa. Selamat menjalankan ibadah puasa.***
Pengamat sosial keagamaan.
(Oleh: Suhardi)