Survei Global Findex (Financial Inclusion Index) yang dirilis pada bulan April 2014 mengungkapkan bahwa 62 persen orang dewasa di seluruh dunia memiliki rekening di bank atau memanfaatkan berbagai macam jenis produk dari lembaga keuangan. Survei ini merupakan rilis kedua dari Global Findex setelah survei yang pertama pada tahun 2011. Global Findex sendiri merupakan organisasi yang mengklaim sebagai penyedia database paling komprehensif di dunia dalam bidang Keuangan Inklusif. Organisasi yang berada di bawah World Bank dan dibiayai oleh Bill & Melinda Gates Foundation ini menyediakan data yang mendalam tentang bagaimana individu menyimpan, meminjam, melakukan pembayaran, dan mengelola risiko. Survei Global Findex tersebut berdasarkan hasil wawancara dengan sekitar 150.000 orang dewasa di lebih dari 140 negara.
Bonus Demografi Keuangan Inklusif
Di sisi lain, bonus demografi yang diartikan sebagai kondisi dimana mayoritas penduduk dalam suatu negara berada pada usia produktif, yakni usia muda semakin kecil namun usia lanjut belum banyak, diharapkan akan dinikmati Indonesia dalam kurun waktu 2020 sampai dengan 2030 mendatang. Melimpahnya jumlah penduduk usia produktif ini akan memacu pertumbuhan ekonomi ke tingkat yang lebih tinggi sehingga akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. Tentunya kita ingin bonus demografi ini dinikmati setiap masyarakat Indonesia. Keuangan inklusif yang dianggap sebagai salah satu cara agar semua orang dapat menikmati kesejahteraan dengan cara mengakses semua layanan keuangan yang ada harus dimulai dengan langkah nyata. Hal tersebut dapat dilakukan dengan mulai mengenalkan akan pentingnya pengetahuan mengenai jasa keuangan dari masa remaja di kalangan pelajar.
Jumlah pelajar Indonesia pada tahun 2012 sebanyak 58 juta jiwa yang terdiri dari 50 juta pelajar SD - SMP serta 8 juta jiwa pelajar SMA. 58 juta jiwa ini merupakan potensi yang harus kita edukasi dalam menghadapi bonus demografi yang dimulai di tahun 2020 nanti. Angka yang setara dengan 23% dari total penduduk Indonesia ini harus diperkenalkan kepada layanan jasa keuangan sejak dini. Hal ini penting karena dimasa yang akan datang, mereka akan menjadi orang dewasa yang membutuhkan jasa keuangan. Dengan memperkenalkan sejak dini tentang layanan jasa keuangan tentunya ini akan mendukung upaya peningkatan inklusivitas keuangan kita menjadi 50% seperti dalam nawacita Presiden Joko Widodo. Tentunya angka ini didukung dengan pemanfaatan bonus demografi Indonesia.
Memang mengenalkan layanan jasa keuangan khususnya tabungan kepada pelajar dalam rangka keuangan inklusif bukanlah peran dari perbankan, melainkan peran pemerintah. Pemerintah hanya dapat memberikan imbauan semata kepada perbankan untuk membuka layanan perbankan kepada para pelajar dan pemuda. Namun demikian, hendaknya perbankan memandang program ini sebagai salah satu program Corporate Social Responsibility (CSR) dalam rangka peningkatan keuangan inklusif di Indonesia. Namun demikian, mengenalkan program menabung kepada para pelajar bukanlah hal yang mudah. Mereka adalah golongan yang sensitif terhadap biaya dan rekening tabungan pelajar cenderung memiliki saldo yang rendah. Hal ini dikarenakan sumber utama tabungan dari para pelajar bersumber dari uang saku yang didapatkan dari orang tua dengan jumlah yang bervariasi antara satu pelajar dengan yang lainnya.
Namun demikian, di Kenya terdapat anomali dalam pemanfaatan channel Bank/Pos sebagai channel layanan keuangan untuk para pemuda di Kenya. Pangsa pasar remaja dengan usia kurang dari 15 tahun justru mencapai 43% dari total pemegang rekening tabungan di Bank Pos Kenya. Orang dewasa yang dulunya pelajar dan pemuda ini akan tetap memanfaatkan jasa keuangan karena sudah merasa nyaman dengan layanan jasa keuangan dan tetap memanfaatkannya sampai usia senja. Maka dari itu hendaknya para penyedia layanan jasa keuangan harus secara agresif menawarkan tabungan untuk para pelajar.Langkah Nyata Indonesia
Kondisi ini sudah disadari oleh Indonesia khususnya para pelaku di bidang Jasa Keuangan. Pada tahun 90-an, Indonesia pernah mempunyai program Tabungan Pelajar dan Pramuka (Tapelpram) yang sangat digemari para pelajar pada era itu. Bank Indonesia (BI) selaku pemegang kebijakan makro prudensial juga membuat program TabunganKu sejak tahun 2010. TabunganKu merupakan program tabungan dengan persyaratan mudah dan ringan, antara lain tidak dibebani dengan biaya administrasi. Produk ini tidak dikhususkan kepada para pelajar melainkan menyasar kepada masyarakat miskin tanpa dibebani dengan biaya administrasi. Produk TabunganKu diselenggarakan oleh 74 bank di Indonesia merupakan perwujudan kepedulian perbankan dan BI untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan produk tabungan yang sesuai. Sampai dengan bulan Juni 2014 berdasarkan data yang dirilis BI menunjukkan bahwa program tabunganKu telah menjaring 12.320.516 masyarakat. Angka ini tergolong kecil dan memang tidak diharapkan akan mendukung perekonomian secara luas mengingat rata-rata saldo tabungan hanya sekitar Rp 850.000,00. Namun demikian, program ini dirancang untuk menumbuhkan budaya menabung penduduk dewasa Indonesia yang belum memiliki tabungan di bank.
BI juga melanjutkan upaya menjaring minat menabung dengan dikeluarkannya Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/8/PBI/2014 tentang uang elektonik pada bulan april 2014. Langkah ini diikuti OJK di bulan November 2014 dengan dikeluarkannya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 19/POJK.03/2014 tentang Layanan Keuangan Tanpa Kantor dalam Rangka Keuangan Inklusif (Laku Pandai). Dua peraturan di atas merupakan langkah untuk mengembangkan layanan perbankan tanpa kantor atau sering disebut branchless banking. Meskipun ruang lingkup keduanya berbeda dimana BI mengatur branchless banking terkait uang elektronik sedangkan OJK mengatur layanan perbankan dasar (seperti menerima simpanan dan menyalurkan kredit), namun kedua otoritas ini sama-sama mengatur keterlibatan agen-agen perbankan dalam pengembangan branchless banking. Agen merupakan seseorang atau badan usaha yang ditunjuk oleh bank untuk menjalankan tugasnya mewakili bank di wilayah yang belum terjangkau oleh kantor-kantor cabang bank.
Dengan adanya dua program tersebut perlu dipertimbangkan kembali untuk membuat suatu produk tabungan untuk menyasar para pemuda dan pelajar dalam memanfaatkan jasa keuangan. Besarnya uang yang mereka tabung bukanlah sasaran utama melainkan kesadaran untuk memanfaatkan akses jasa keuangan. (kkg) Pegawai Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan RI.
(Oleh Tri Achya Ngasuko)