Pertaruhan Kapabilitas Pemerintah

Jumat, 19 Juni 2015 - 09:56 WIB
ilustrasi


Kekecewaan yang diungkapkan lewat suara sumbang terhadap pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla makin sering terdengar. Media sosial yang sekarang menjadi rujukan untuk melihat tren di masyarakat menjadi arena paling empuk untuk melampiaskan kekecewaan tersebut. Kebijakan Jokowi yang membuat kecewa memang datang beruntun dan lengkap, yakni meliputi politik, hukum, dan ekonomi.
Pada awal pemerintahan, Jokowi mengecewakan masyarakat terkait dominannya partai politik dalam menentukan anggota kabinet. Tarik ulur di partai politik itu membuat keputusan pengumuman kabinet menjadi lama, dan celakanya banyak pilihan menteri yang tidak berkualitas.
Kekecewaan berikutnya terkait dengan hukum, yakni diajukannya Budi Gunawan--yang saat itu menjadi tersangka-sebagai calon Kapolri. Meskipun akhirnya Jokowi membatalkan pelantikan Budi Gunawan, masyarakat sudah telanjur kecewa. Apalagi, di kemudian hari yang bersangkutan diangkat menjadi wakil Kapolri. Kekecewaan di bidang hukum makin memuncak manakala komisioner KPK dan pegiat antikorupsi dikriminalisasi.
Ketika runtutan kekecewaan itu belum hilang sepenuhnya dari ingatan, Jokowi meneruskan dengan kekecewaan berikutnya, yakni ekonomi. Masyarakat kecewa dengan kinerja ekonomi yang pada semester pertama tahun ini memburuk, setidaknya menurun dibanding tahun sebelumnya. Pertumbuhan ekonomi kuartal I yang hanya 4,71 persen mengonfirmasi kondisi tersebut. Kuartal II diperkirakan tidak jauh dari angka itu.
Menurunnya pertumbuhan ekonomi merupakan satu dari lima penyebab kekecewaan di bidang ekonomi. Empat lainnya adalah, pertama, harga kebutuhan bahan pokok naik dan dikhawatirkan bergerak liar saat memasuki Ramadhan. Kedua, pengangguran meningkat karena peluang kerja yang ada tak mampu menyerap angkatan kerja baru. Ketiga, mulai terjadi PHK di berbagai perusahaan. Keempat, kurs rupiah yang terus merosot bahkan sempat hampir Rp 13.400 per dolar AS.
Saat ini, ujian yang sudah ada di depan mata adalah gejolak harga pada bulan Ramadan. Sebagaimana biasa, setiap bulan puasa, harga bahan pokok terbang tak terkendali. Permintaan memang naik, tetapi oleh tengkulak dan spekulan di lapangan dibikin seolah-olah permintaan melonjak luar biasa sedangkan pasokan tipis sehingga harga bisa dipermainkan.
Pemerintah mau tidak mau harus mampu mengendalikan harga agar masyarakat terutama kelas bawah tidak menderita dan juga agar tidak menambah kekecewaan masyarakat. Pengalaman tahun lalu bisa menjadi pembelajaran baik ketika pemerintah berhasil mengendalikan harga pada bulan Ramadan.
Saat itu, Chairul Tanjung yang menjadi Menteri Koordinator Bidang Perekonomian selalu memantau pergerakan harga. Jika ada kenaikan tak wajar, dia langsung turun ke pasar. Dengan pengalamannya sebagai padagang, dia bisa tahu mana harga yang naik wajar, mana yang tidak. Kalau sudah begitu, dia tantang para spekulan dengan melakukan operasi pasar. Hasilnya, Juli 2014, laju inflasi 0,93 persen, inflasi yang relatif rendah untuk bulan Ramadan.
Selain operasi pasar, keberhasilan meredam kenaikan harga tak lepas dari langkah Kementerian Perdagangan yang mengubah strategi persiapan kebutuhan pokok dari tiga bulan sebelum Idul Fitri menjadi tiga bulan sebelum Ramadan. Selain itu, pasar modern yang memenuhi 30-35 persen kebutuhan masyarakat juga berkontribusi dalam pengendalian harga karena di situ tidak terjadi spekulasi. Kebetulan pula, masa panen saat itu tertunda sehingga masa panen bertepatan dengan Ramadan.
Dalam jangka pendek ini, pemerintah harus fokus pada pengendalian harga. Sampai tulisan ini dibuat, masih terjadi perdebatan perlu perpres atau tidak. Kemendag mendesak Presiden membuat perpres untuk mengendalikan harga dan menjamin ketersediaan bahan pokok sesuai amanat UU Perdagangan No 7/2014 (Republika, 17/6/15). Sementara, Wapres Jusuf Kalla memandang tidak perlu.
Kita tidak perlu terjebak dalam perdebatan tersebut. Bagi masyarakat, yang penting harga tidak naik di luar nalar. Pemerintah perlu sigap dan tepat, termasuk dalam melakukan operasi pasar. Kegagalan operasi pasar bawang merah awal Juni lalu di Pasar Kramat Jati, Jakarta, menjadi pelajaran berharga. Fokuskan pada ketersediaan bahan pokok, terutama untuk beras, bawang, minyak goreng, telur, ayam, dan daging.
Kementerian Perdagangan, Kementerian Pertanian, dan Bulog perlu bersinergi dengan satu komando Menteri Koordinator Ekonomi. Pemerintah harus memiliki amunisi yang cukup untuk mengontrol dan mengendalikan harga. Kemudian, mengatur strategi yang jitu untuk berperang melawan mafia pangan. Kunci utama sebetulnya adalah ketersediaan barang. Karena itulah, peran Bulog perlu diperkuat agar mampu menjadi badan penyangga.
Keberhasilan pemerintah dalam mengontrol harga pada Ramadan ini akan menjadi nilai plus bagi Jokowi. Tetapi sebaliknya, jika gagal, kekecewaan masyarakat makin menumpuk.
Jika kita petakan secara sederhana pada masyarakat yang dulu memilih Jokowi saat ini terbagi menjadi tiga level berdasarkan penyikapan terhadap Jokowi. Level pertama adalah mereka yang tetap mendukung penuh Jokowi, level kedua yang kecewa pada kebijakan Jokowi, dan yang paling parah level ketiga menyesal telah memilih Jokowi.
Secara sepintas, mereka yang pada level pertama masih mayoritas, tetapi cenderung diam atau menjadi silent majority. Berikutnya, mereka yang tadinya mendukung sebagian sudah bergerak ke arah kecewa, dan jumlah ini semakin bertambah. Berikutnya karena kekecewaan datang beruntun, mereka patah arang sehingga bukan saja kecewa melainkan sudah bermigrasi menjadi menyesal.
Bulan Ramadhan ini akan menjadi pertaruhan bagi kapabilitas pemerintah, apakah mampu mengatasi lonjakan atau tidak. Kita berharap, Jokowi mampu mengatasinya agar barisan pada level kedua kembali ke level pertama, dan barisan pada level ketiga kembali ke level kedua, bahkan kalau bisa ke langsung level pertama. Bagaimanapun kita perlu pemerintahan yang stabil. (rol)
Direktur Indostrategic Economic Intelligence.

(Oleh: Anif Punto Utomo)

Editor:

Terkini

Terpopuler