Mulai Ahad (7/6) sampai Rabu (10/6), Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat menyelenggarakan Ijtima Ulama Komisi Fatwa kelima di Pondok Pesantren Al-Tauhidiyah, Tegal, Jawa Tengah. Ijtima Ulama yang dibuka langsung Wapres Jusuf Kalla ini diikuti sekitar 1.000 peserta yang berasal dari pimpinan Komisi Fatwa MUI seluruh Indonesia, pimpinan ormas, utusan perguruan tinggi, dan pimpinan pondok pesantren se-Indonesia.
Ijtima ulama ini menjadi sangat strategis melihat akhir-akhir banyak persoalan sosial keagamaan, sosial kebangsaan, dan masalah hukum perundang-undangan ramai diperbincangkan dan perlu fatwa menyikapinya. Seperti, masalah terkait kuota haji, haji berkali-kali, radikalisme, janji para pemimpin, gerakan takfiri, dan masih banyak lagi.
Ada tiga topik bahasan yang diangkat pada Ijtima Ulama Komisi Fatwa MUI se-Indonesia. Pertama, masalah strategis kebangsaan (masaail asasiyah wathaniyah). Kedua, masalah fikih (keagamaan) kontemporer (masail fiqhiyyah mu’ashirah). Ketiga, masalah hukum dan perundang-undangan (masail qanuniyah).
Isi draf masalah ijtima ulama ini adalah, pertama, masalah strategis kebangsaan, di antaranya, masalah ketaatan pada pemimpin yang tak menaati kampanyenya; bagaiamana status hukum janji pemimpin, bagaimana hukum mengingkari janji, dan bagaimana ketaatan rakyat terhadap pemimpin yang ingkar janji. Masalah dlawabith takfir (kriteria kekafiran dan pengafiran); bagaiamana ifrath (orang yang permisif), dan bagaimana hukum tafrith (orang yang gampang mengafirkan orang).
Masalah radikalisme dalam kehidupan berbangsa dan penanggulangannnya; apa definisi radikalisme, bagaimana radikalisme agama dan bagaimana stigma radikalisme terhadap kelompok masyarakat dan bagaimana hukum kebijakan penanganan radikalisme berbasis agama. Keempat, masalah kebijakan pertanahan dan sumber daya alam; bagaimana hukum penelantaran lahan.
Kedua, masail fighiyyah mu’ashirah (masalah fikih kontemporer), di antaranya, masalah hukum haji berulang dan bagaimana hukum berhaji sunah yang berdampak pada menghalangi calon jamaah haji wajib. Masalah hukum menggusur masjid dan membangun masjid yang tidak dimakmurkan. Masalah hukuman mati; apa saja jenis pidana yang bisa dikenakan hukuman mati, sejauh mana kekuasaan pemerintah membatalkan hukuman mati, dan masalah sosial keagamaan lainnya.
Ketiga, masail qanuniyyah (masalah hukum dan perundang-undangan), di antaranya, masalah ekonomi syariah, BPJS, hukum terapan peradilan agama, revisi KUHP, Peraturan Pemerintah tentang UU No 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal, Perda Halal tentang Rumah Potong Hewan Halal, Peraturan Pemerintah Pembangunan Kebijakan Wisata Syariah dan masalah UU Yayasan.
Semua masalah ini akan dibahas alim ulama dalam ijtima dengan menghadirkan narasumber yang kompeten dengan nalar logis--kajian ushul fiqh--pertimbangan maslahah madharat dalam aplikasi hukum (taklif hukum) dengan mempertimbangkan konteks (ruang dan waktu) Indonesia. Pertimbangan kontekstual tentunya yang menjadi pertimbangan utamanya dalam mengeluarkan fatwa tersebut, tidak menggunakan pertimbangan teks. Karena, kalau menggunakan pertimbangan teks (tekstual) akan bisa mendapatkan kesimpulan yang sesat.
Gambaran bahwa pengambilan hanya mendasar pada teks, sebagaimana cerita Abu Nawas diperintah oleh pimpinannya untuk menjaga pintu yang kemudian karena Abu Nawas berpikir secara teks untuk menjaga pintu, kemudian pintu itu dibongkar dibawa ke toilet oleh Abu Nawas karena menjaga perutnya. Gara-gara pintu dibongkar dan dibawa ke toilet yang cukup jauh, banyak barang berharga dalam ruang pintu itu hilang. Inilah narasi memahami teks secara tekstual yang dapat menyesatkan.
Dengan kontekstualisasi atas dasar al-hukmu yaduuru ma’al illat wujudan wa adaman (penetapan hukum berdasarkan illat (alasan) yang ada) dan atas dasar taghayyurul ahkam bi taghayyiril azminah wal amkaninah (perubahan hukum karena perubahan konteks ruang dan waktu), fatwa yang diputuskan alim ulama dalam ijtima ulama nantinya tentu tidak lepas dari konteks pribumi Indonesia yang menjadi bagian nusantara ini. Fatwanya tentunya merupakan corak Islam Indonesia atau Islam Nusantara.
Tentunya, fatwa-fatwa MUI akan membumi, akan benar-benar dirasakan masyarakat. Jangan sampai mengeluarkan fatwa yang malah membuat masyarakat menjadi tidak mau mengamalkan fatwa tersebut.
Jika demikian, yakni keluar fatwa yang kontekstual ke-Indonesia-an yang berarti corak Islam Nusantara, kiranya posisi MUI akan sesuai pedoman pokok MUI sebagaimana ditegaskan bahwa fungsi MUI adalah memberi fatwa dan nasihat mengenai masalah sosial keagamaan kepada pemerintah dan umat Islam sebagai amar makruf nahi munkar, memperkokoh ukhuwah Islamiah dan melaksanakan kerukunan antarumat beragama, dan penghubung ulama dengan pemerintah serta penerjemah antara pemerintah dan umat.
Dengan fatwa-fatwa dalam corak Islam Nusantara (ke-Indonesia-an) ini kiranya akan mengubah asumsi masyarakat dunia terhadap Islam yang menurut Chiara Formichi (pengajar Cornell University) telanjur dipersepsikan dalam citra yang kental akan ekstremisme bisa berubah dengan citra yang santun dan ramah.
Semoga, benar-benar keluar fatwa yang kontekstual Indonesia, yakni fatwa Islam Nusantara. (rol)
Oleh: Ahmad Izzuddin - Pengasuh Pesantren Life Skill Daarun Najaah Semarang, Dosen Fakultas UIN Walisongo