Sosialisasi "Jangan", Kampanye "Tunggu"

Selasa, 09 Juni 2015 - 14:33 WIB
ilustrasi
 
Mulai terasa hangat geliat Pilkada serentak di Riau hal Itu dibuktikan dengan maraknya terpasang baliho, spanduk, pamplet, poster atau “benda kramat” lainnya di beberapa titik pusat kota bahkan merambah ke sepanjang jalan lintas menuju pusat ibukota di beberapa kabupaten/kota yang “memproklamirkan diri” sebagai  bakal calon atau mengatasnamakan calon bupati atau walikota. 
Fakta ini juga dimuat di beberapa berita media cetak walaupun tidak semua daerah didapati sama. Untuk itu saya menyengajakan waktu melakukan supervisi dan monitoring. Sebagai Ketua Bawaslu Provinsi Riau, saya hanya menggelengkan kepala sambil sedikit bergumam “Masih paradigma lama dan konvensional“. 
Tidak cukup di situ saja, ada beberapa pertanyaan yang harus dicuatkan untuk mengungkap alasan fenomena tersebut: Pertama, apakah pemberlakuan UU Nomor 1 Tahun 2015 dan UU Nomor 8 Tahun 2015 belum merata tersampaikan ke daerah?
Kedua, apakah KPU di daerah telah mensosialisakannya kepada partai dan masyarakat?
Ketiga, apakah Pengawas Pemilu di daerah yang notabene baru, pernah mensosialisasikannya?
Keempat, apakah pemerintah daerah turut membantu memfasilitasi sosialisasi kepada masyarakat?
Kelima, apakah DPRD dan/atau partai politik di daerah pernah membahas dan mensosialisakannya kepada masyarakat?
Kelima pertanyaan tersebut layak diungkap agar tidak ada pihak yang dijadikan kambing hitam kemudian ber-Ebiet G. Ade-ria sambil menembangkan sepotong lirik “dosa siapa, ini dosa siapa– salah siapa, ini salah siapa”. 
Sponsor “calon” atau dukungan simpatisan/fanatis. Fenomena Pilkada ini tentu tidak dapat dibiarkan begitu saja karena akan membuat informasi yang meresah dan menyesatkan masyarakat. Sulit rasanya menunjuk hidung siapa yang mempromotori kegiatan itu karena pada prinsipnya semua orang berusaha cari selamat atau cuci tangan bila diposisikan sebagai orang yang bersalah dan bertanggungjawab memasang alat peraga kampanye dan bahan kampanye yang jelas-jelas ilegal tersebut dan otomatis akan menolak jika diproses oleh Pengawas Pemilu. 
Saya harus meluruskan sepak terjang yang keblinger itu dengan menjelaskan bahwa: UU Nomor 1 Tahun 2015 pasal 37 ayat (5) menegaskan bahwa “bakal calon dapat mengenalkan dirinya kepada masyarakat sebelum dimulainya pendaftaran calon gubernur, calon bupati dan calon walikota” telah dihapus di dalam UU 8 Tahun 2015 yang sering disebut UU Pilkada. 
Bukan ayat (5) saja tetapi kelima ayat yang ada dalam pasal 37 tersebut dinyatakan telah dihapuskan. Artinya siapa saja sudah tidak dibenarkan lagi mengatasnamakan/mengklaim dirinya sebagai bakal calon bupati/walikota apalagi memperkenalkan dirinya kepada masyarakat atau yang sering disebut dengan sosilisasi dengan tanpa terkecuali. 
Boleh Kampanye
Dalam Peraturan KPU Nomor 2 Tahun 2015 tentang Tahapan. Program dan jadwal telah terjadwal KPU Kabupaten/Kota akan menetapkan pasangan calon bupati/wakil bupati dan walikota/wakil walikota pada tanggal 24 Agustus 2015 secara serentak pula. 
Artinya pada tanggal itu baru dapat diketahui siapa yang berhak memiliki status pasangan calon sedangkan sebelum tanggal tersebut tidak ada satu pihak manapun yang boleh menyebut dirinya pasangan calon atau calon dari pasangan calon. Ini perlu ditegaskan karena yang berhak kampanye adalah pasangan calon yang telah ditetapkan KPU di daerahnya masing-masing. Semua alat peraga dan bahan kampanye yang terbilang besar sudah terfasilitasi oleh KPU kab/kota. Untuk pasangan calon pun telah diberikan kesempatan melakukan kampanye yang dijadwalkan pada tanggal 27 Agustus s/d 5 Desember 2015, jika ditotal setidaknya ada 101 hari untuk melaksanakan kampanye. Apakah jadwal kampanye selama itu masih dianggap kurang bagi pasangan calon atau tim kampanye, akan terjawab dan berpulang kepada masing-masing untuk menyusun agenda perencanaan, persiapan, pelaksanaan dan evaluasi dari pasangan calon dan tim kampanye untuk mengemas kampanye yang berbasis kualitas, aspiratif, bertanggungjawab dan taat aturan.
Harus Bersih
Bukan tidak mungkin jumlah baliho, spanduk, pamplet, poster atau “benda kramat” lainnya akan justru bertambah banyak karena banyak pihak tidak tahu bagaimana mensikapinya. Mencabut sendiri, rasanya malu, kurang kerjaan atau mungkin malas. 
Untuk mensikapinya tentu dengan dasar pemikiran bahwa pilkada juga bertujuan dan bermuara akhir terciptanya roda pemerintahan yang konstitusional dan pembangunan demokrasi daerah yang mendapat dukungan rakyat yang kemudian menempatkan UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah menjadi tolok ukur kemampuan daerah. 
Sebagaimana yang diamanatkan dalam pasal 255 undang-undang ini menyebutkan bahwa “Satuan polisi pamong praja dibentuk untuk menegakkan Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah, menyelenggarakan ketertiban umum dan ketentraman dst”. UU ini juga akan terkoneksi dengan Peraturan Daerah atau Peraturan Bupati/Walikota setempat yang memberlakukan tentang ketertiban umum di daerah masing-masing. Keberadaan alat peraga dan bahan kampanye yang dilarang dan belum saatnya itu pun akan lebih mudah dieksekusi bersama-sama KPU-Panwas dan didukung penuh pemerintah daerah dalam hal ini Satpol Pamong Praja dan diberi pengamanan polisi tentunya. Tidak sulit dan harus bersih.***
 
Ketua Bawaslu Provinsi Riau.(Oleh: Edy Syarifuddin )

Editor:

Terkini

Terpopuler