PADANG (HR)-Hingga saat ini, permasalahan tambang ilegal atau illegal mining dan konflik lahan perkebunan, masih menjadi persoalan yang tak kunjung terselesaikan di Sumatera Barat. Penegakan hukum juga tidak menjadi solusi yang mumpuni dalam penyelesaian permasalahan yang ada, sepanjang substansinya belum tersentuh.
Hal itu disampaikan Kapolda Sumatera Barat Brigjen Bambang Sri Herwanto kepada anggota Komisi III DPR RI, Hj Mukhniarty, SE MSi, ketika berkunjung ke Mapolda Sumbar, Jumat (5/6).
Bambang mengungkapkan, aktivitas penambangan ilegal masih berlangsung di beberapa kabupaten di Sumbar. Pihaknya sudah berupaya maksimal untuk melarang kegiatan itu. Beberapa alat berat seperti ekskavator sudah ditahan polisi. Tapi beberapa waktu kemudian, aktivitas serupa kembali berulang.
Jika kondisi seperti ini terus berlanjut, Bambang mengakui polisi akan kesulitan dari sisi pendanaan. Sebab, untuk sekali turun ke lapangan, butuh dana hingga puluhan juta rupiah. Apalagi untuk mengeluarkan alat berat dari dalam hutan lebat atau sungai.
“Masyarakat kembali menambang, karena secara turun-temurun mereka mencari nafkah dari sektor itu. Sudah kami lakukan penegakan hukum, tetapi tidak efektif,” ujarnya.
Diceritakan Bambang, pihaknya telah mengkaji permasalahan tambang emas di wilayah Solok Selatan (Solsel). Kondisi di sepanjang Sungai Batanghari, ternyata sudah sangat memprihatinkan. Untuk itu, pihaknya meminta instansi terkait ikut berperan dan langsung terjun guna mencarikan solusi.
Karena apabila ini dibiarkan, maka dampaknya 10 atau 20 tahun mendatang lingkungan akan hancur. Untuk itu, jalan keluar permasalahan tersebut tidak hanya dengan penegakan hukum saja.
Pihak kepolisian juga telah pernah mengumpulkan pelaku tambang emas dan selama ini mereka terkendala dalam pengurusan izin. Meski demikan, mereka tetap menambang secara ilegal, karena kebanyakan masyarakat di sana hidup dengan tambang.
Saat ini dari 30 perusahaan penambang yang beroperasi di Solsel, tidak satu pun izinnya yang lengkap. Yang memiliki izin lokal 11 perusahaan, selebihnya tidak berizin. Jika nantinya dilegalkan, ada tiga keuntungan yang diperoleh. Pertama, bisa memberikan pemasukan asli daerah (PAD). Kedua, dapat membuka lowongan pekerjaan bagi masyarakat. Ketiga, kondisi lingkungan bisa lebih terkendali, karena prinsip-prinsip dan SOP pengendalian lingkungan mesti dilaksanakan oleh perusahaan penambang, termasuk melakukan reklasi pascatambang.
“Saya berharap kepada Ibu Mukhniarti Basko, yang juga mitra dari kepolisian dapat menyampaikan aspirasi ini dan dibahas di DPR RI,” harapnya.
Begitu juga terkait konflik lahan perkebunan sawit di wilayah hukum Sumbar. Menurut Kapolda Sumbar, konflik terjadi antara masyarakat dengan perusahaan sawit. Sekelompok masyarakat meminta kepada perusahaan sawit agar mengeluarkan persentase panen untuk mereka, dengan alasan tanah ulayat mereka digunakan untuk perkebunan sawit oleh perusahaan tersebut.
Namun pihak perusahaan keberatan, karena perusahaan telah mengeluarkan bagian persentase sesuai dengan perjanjian ke kaum adat yang tertera di surat perjanjian. Karena terjadi silang pendapat, akhirnya terjadi gesekan, antara kelompok masyarakat itu dengan perusahaan. Pada bagian lain juga terjadi konflik horizontal antara kelompok masyarakat A dan B memperebutkan bagian dari pengelolaan tanah ulayat.
Menanggapi hal itu, anggota Komisi III DPR RI, Mukhniarty Basko mengatakan, ia menampung poin-poin yang disampaikan Kapolda Bambang dan berjanji akan mengekspos serapan aspirasi tersebut di DPR RI.
“Permasalahan di Sumbar memang kompleks. Kalau ini dibiarkan, maka Sumbar akan terus terpuruk,” kata istri pengusaha H Basrizal Koto ini.
Meski bukan dari dapil Sumbar, kata Mukhniarti Basko, dia berkewajiban membangun Sumbar lebih maju, karena Sumbar adalah tanah kelahirannya.
Jangan Gegabah
Dalam kesempatan itu, Kapolda Sumbar juga sempat menyinggung rencana PT Kereta Api Indonesia (KAI) Wilayah Sumbar, yang disebut akan menertibkan asetnya. Dalam hal ini, Kapolda Sumbar mengharapkan penertiban aset tersebut tidak dilakukan secara gegabah.
“Sebaiknya penertiban aset-aset itu jangan hanya dengan pendekatan kekuasaan saja. Tapi mari duduk bersama,” ujarnya.
Pendekatan kekuasaan dalam menertibkan aset-aset PT KAI Divre II Sumbar, menurut Bambang berpotensi menimbulkan terjadinya konflik yang dapat mengganggu ketertiban dan keamanan di masyarakat.
“Secara prinsip, jajaran Polda Sumbar siap mengawal dan mengamankan penertiban. Tapi tentunya dilakukan dengan cara baik-baik. Jangan gegabah, apalagi semena-mena yang bisa menimbulkan bentrokan dan jatuhnya korban,” kata Bambang.
Beberapa penertiban aset PT KAI Divre II Sumbar yang akan dilakukan di antaranya di dekat area pintu masuk parkir Basko Hotel/Mal. Di mana saat ini lahan itu berstatus quo, karena kedua belah pihak sama-sama mengklaim sebagai pemilik. Pihak Basko Hotel/mal sudah mengurus sertifikat kepemilikan lahan itu sejak tahun 2011, sedangkan PT KAI mengurus tahun 2013.
Berikutnya, PT KAI Divre II Sumbar juga akan melakukan penertiban pada aset PT KAI dari Padangpanjang hingga Payakumbuh. Di atas jalur kereta api itu sejak puluhan tahun lalu sudah berdiri ribuan bangunan, baik milik pribadi, perusahaan swasta hingga perkantoran pemerintah. Penertiban akan dilakukan menyusul adanya wacana membuka kembali jalur rel kereta api Padang-Padangpanmjang-Bukittinggi-Payakumbuh.
Bambang mengatakan, berapa banyak masyarakat yang telah ‘menduduki’ bantalan kereta api dan sudah tinggal puluhan tahun. Untuk itu, penertiban harus ada solusinya, sehingga masyarakat tidak merasa dirugikan, kemudian harus ditata kembali.
Sekedar informasi, saat ini ada 13 kasus rebutan aset yang diklaim PT KAI di pengadilan. Kasus terbesar di Medan, Surabaya, dan Semarang. Kasus di Medan pada tahun 2011, PT Agra Citra Kharisma menggugat PT KAI, Pemko Medan dan Badan Pertanahan Nasional atas lahan seluas 7,3 hektare di PN Medan.
Kasus tersebut dimenangkan PT Agra Citra Kharisma. Tidak terima dengan putusan PN Medan, pada bulan Januari 2012 PT KAI mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Sumut. Namun sayangnya, upaya tersebut kandas, karena PT KAI dikalahkan putusan Pengadilan Tinggi Sumut.
Upaya KAI dalam menyelamatkan asetnya tersebut tidak sampai di situ. Berdasarkan putusan Pengadilan Tinggi Sumatera Utara, PT KAI mengajukan Kasasi ke Mahkamah Agung Republik Indonesia (MA). Namun, MA menolak Kasasi yang diajukan PT KAI. (h/nas/erz)