Di tengah dialektika pro dan kontra impor beras, akhir Mei 2015 ini berembus isu peredaran beras sintetis mengandung plastik di Bekasi, Jawa Barat. Diduga beras sintetis plastik ini hasil impor ilegal dari Cina. Dua fenomena beras yang menjadi trending topic media cetak dan elektronik ini membuktikan beras masih menjadi komoditas ekonomi "seksi" sektor pertanian Indonesia. Lalu, adakah pelajaran dari kedua fenomena beras ini bagi pemerintah?
Indonesia secara praksis ikut arus liberalisasi ekonomi sejak 1980-an. Sejak inilah impor menjadi pilihan ketika terjadi ekses demand dalam negeri komoditas penting di negeri ini. Puncak arus liberalisasi Indonesia terjadi saat krisis moneter 1997/1998 ditandai dengan paket reformasi IMF 1997/1998. Hambatan tarif dan nontarif impor untuk beras dalam paket ini ditiadakan.
Peniadaan hambatan impor tarif dan nontarif beras ini hanya berlangsung dua tahun. Pemerintahan Presiden Megawati mengeluarkan tariff barrier beras awal 2001. Tahun 2001 dikenakan tarif Rp 430 per kg untuk impor beras. Pada akhir 2013 naik Rp 320 per kg sejak 2001. Nontariff barrier berupa quota system, yaitu pembatasan kuota impor beras pun diberlakukan di era Megawati. Di era Presiden SBY pada 2004-2014 impor beras dilarang (kecuali jika dilakukan Bulog dengan izin pemerintah). Dan di era Presiden Jokowi JK tingginya tingkat konsumsi beras nasional sebesar 139 kg per kapita mendorong kembali terjadinya pro-kontra impor beras.
Dari fakta di atas dapat kita ketahui bersama melakukan impor beras atau tidak merupakan pilihan bagi rezim pemerintahan. Namun, perlu dipahami jika impor beras acap dilakukan Indonesia, sebagai negara berkembang telah terjadi perubahan budaya. Perubahan budaya adalah budaya pangan. Jika dulu negara berkembang mayoritas mengekspor komoditas bahan baku, kini mayoritas mengimpor bahan baku (Prof Andreas, 2015).
Teori makroekonomi mengatakan, salah satu penyebab impor adalah kelebihan permintaan suatu komoditas tapi kekurangan stok. Ketika ini terjadi, harga komoditas itu akan meningkat. Pada kasus beras tahun ini, salah satu indikator diperlukan impor adalah kenaikan harga beras yang merata se-pelosok nusantara. Selain faktor alam, kenaikan harga ini diduga terkait mafia perberasan yang melibatkan oknum Perum Bulog, pergudangan, dan petani skala besar (nonpetani kecil). Namun, Bulog mengklarifikasi kenaikan harga ini terjadi karena kekosongan stok beras pada November 2014, Desember 2014, dan Januari 2015.
Penulis mengapresiasi ketika pemerintahan Jokowi JK melakukan opsi operasi pasar beras tidak langsung membuka keran impor menghadapi kenaikan harga beras. Namun, harus dipahami, operasi pasar hanya bisa menurunkan harga secara terbatas karena faktor geografi dan demografi. Signifikansi dampak kuantitas operasi pasar lebih kecil dibanding dampak kuantitas pendapatan per kapita, raskin, maupun proporsi konsumsi beras dalam ekonomi rumah tangga Indonesia. Kita ketahui, proporsi konsumsi rumah tangga untuk beras Indonesia masih sangat tinggi, terutama untuk warga miskin.
Jika pemerintah tidak mengurangi proporsi konsumsi beras rumah tangga masyarakat miskin atau angka kemiskinan di Indonesia, persoalan kenaikan harga beras yang berujung pro-kontra impor beras akan selalu muncul setiap tahun khususnya menjelang panen raya. Mulai akhir November hingga April, awal musim panen raya.
Para pemburu rente melihat kurangnya stok beras menjadi peluang ekonomi untuk mengedarkan beras sintetis. Disadari atau tidak, perilaku para pemburu rente ini mempunyai dampak, pertama, menimbulkan eksternalitas negatif bagi ilmu teknologi pangan. Beras sintetis dalam dunia akademis dan penelitian pangan dikenal sebagai komoditas serupa beras (dimensi, komposisi, gizi, dan ukuran) berbahan baku singkong, jagung, sagu, umbi-umbian, dan sumber karbohidrat lain. Hal ini sangat berbeda dengan beras sintetis plastik yang mengandung senyawa polyphinil.
Untuk menghindari stigma negatif dari kata sintetis yang sering diidentikkan mengandung bahan kimia oleh masyarakat awam, di IPB beras sintetis disebut beras analog (Prof Fransiska,2015). Beras analog ini diciptakan sebagai upaya diversifikasi pangan utama untuk mengurangi ketergantungan konsumsi terhadap beras dan tepung terigu.
Kedua, membuat kecemasan sosial akan pangan. Pemerintah harus mengungkap kasus beras plastik karena diduga berasal dari luar negeri (impor), tapi Kemendag menyatakan tidak pernah mengeluarkan izin impor beras. Beras plastik juga merupakan kejahatan kemanusiaan, alasannya mengonsumsi beras plastik bisa menyebabkan kematian.
Hemat penulis jika pemerintah jeli, melalui Kementan dapat menggunakan momentum ini untuk mengajak masyarakat mendiversifikasi pangan utama nonberas. Momen beredarnya beras sintetis plastik menyebabkan masyarakat waswas mengonsumsi beras sebagai makanan pokok. Jika diversifikasi pangan berhasil, dipastikan pro kontra impor beras tidak akan terjadi. Sebab, ketergantungan impor akibat kurangnya stok beras dalam negeri akan berkurang.
Selama ini pemerintah sudah melakukan kampanye diversifikasi pangan pokok dan substitusi pangan impor. Namun, kampanye ini baru setengah hati karena tidak ada gerakan massal dan nasional yang sifatnya memaksa. Padahal diversifikasi pangan sudah mempunyai payung hukum, yaitu UU Pangan No 18 Tahun 2012 tentang Kedaulatan Pangan Nasional. Ayo dukung diversifikasi pangan utama! (rol)
Oleh: Prima Gandhi - Staf Pengajar Departemen Ekonomi Sumber Daya dan Lingkungan Fakultas Ekonomi Manajemen Instutut Pertanian Bogor