Diskusi Walhi Riau: Kesah Emak di Inhil Hentikan Blasting Tambang Batu Bara

Rabu, 19 Maret 2025 - 08:53 WIB

Riaumandiri.co - Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Riau menggelar diskusi terbuka dengan mengangkat tema 'Hentikan penggunaan batu bara dukung transisi energi'. 


Diskusi ini menghadirkan masyarakat yang terdampak akan pertambangan batu bara, Perempuan Desa Batu Ampar, Iroy Mahyuni menceritakan secara detail cerita sejarah emak-emak disana menghentikan blasting atau peledakan batu bara. 


Sebelum masuknya tambang batu bara, Iroy mengatakan masyarakat Desa Batu Ampar melakukan aktivitasnya sesuai warisan nenek moyang. 


Warisan itu ialah ilmu berkebun, dengan sistem penanaman padi tanah hujan, masyarakat mampu mengembangkan komoditas sayur mayur. 


"Saya ceritakan Batu Ampar itu sebuah desa di perbatasan Riau dan Jambi, kita punya  culture bertahan hidup versi nenek moyang kita, alam menyediakan semuanya secara gratis kepada kita, jadi kita manusia harus memberdayakan alam, hutan dan seisinya untuk kebutuhan hidup secukupnya, dan mengembalikannya ke alam agar adanya proses regenerasi," kata Iroy. 


Lanjut, di era Jokowi pada tahun 2014 yang membuka keran hilirisasi, sehingga Iroy mengungkap bahwa masyarakat saat itu dipaksa untuk menambang. 


Menurutnya, cara pandang pengusaha tambang adalah dengan bekerja sebagai 'buruh' merupakan yang modern. Dan bercocok tanam ajaran nenek moyang mereka anggap kuno. 


"Era Jokowi kita ditawari hilirisasi, katanya kalau bercocok tanam itu  tak modern, jadi kita harus nambang. Tapi daerah kita menyimpan kandungan mineral, migas atau emas harus di ekstrak, itu cara terbaik oligarki untuk memberikan lapangan pekerjaan," jelasnya. 


Masyarakat yang paling penting adalah bisa bertahan hidup dengan alam yang tersedia.  Pada tahun 2010, akibat mulai masuknya tambang batu bara, warga perlahan mulai tak bertani, bercocok tanam, justru diserap menjadi tenaga kerja di sebuah perusahaan pertambangan. 


"Pasca batu bara masuk tahun 2010, perlahan demi perlahan warga tak bertani, dari bapaknya sampai anaknya diserap jadi tenaga kerja di perusahaan pertambangan, bagaimana ini akhirnya sangat manipulatif," katanya. 


Hal itu lantaran, apabila masyarakat menjadi buruh, ia akan bergantung dengan fasilitas yang diberikan perusahaan, otomatis hampir tidak ada penolakan di awal masuk perusahaan batu bara tersebut. 


"PT BP* seperti yang kita tau di awal memang tidak ada gejolak atau penolakan, tapi, tak ada satupun penelitian wilayah atau sektor pertambangan itu sejahtera, setiap wilayah konsesi pertambangan itu pasti miskin," ujar Iroy. 


Pada tahun 2021, secara menggemparkan terjadi sebuah ledakan yang berasal dari blasting batu bara. Menurut Iroy, ratusan rumah saat itu mengalami kerusakan dan mata pencaharian mereka terancam. 


Tahun 2023, dua tahun setelah peledakan pertama, perusahaan tersebut kembali melakukan blasting pada bulan Oktober, hal ini yang membuat emak emak mendatangi PT BP* secara spontan. 


Namun saat itu, Iroy menyebut pihak perusahaan berdalih bahwa suara blasting masih kalah keras dengan suara speaker warga. 


"Betapa sangat  mudahnya ketidaktahuan warga dimanfaatkan, ketika misalnya suara blasting tidak akan berdampak, karena lebih keras suara speaker dibanding blasting, dan ternyata saat itu menghancurkan ratusan rumah," katanya. 


Mediasi kembali dilakukan, namun saat itu kesepakatan belum tercapai, hingga pada magrib perusahaan secara tiba tiba melakukan blasting kembali. 


Iroy yang saat itu geram, membuatnya bersama masyarakat meminta audiensi dengan Pemkab Inhil. 


Dari Pemkab, hanya dilakukan pendataan rumah yang tersampak yakninya sebanyak 60 rumah yang masuk dalam kategori rusak akibat blasting di tahun 2023.


Pasca pendataan tersebut, ada beberapa masyarakat yang mendapat ganti rugi, namun dengan syarat datang langsung ke lokasi perusahaan berada. 


Hal ini dinilai Iroy sebagai bentuk penggembosan terhadap perlawanan warga saat itu. "Uang ketika dari perusahaan berapa dan apa parameternya, rumah si A rusak parah, ada yang sedang itu tu parameternya tidak ada dan tidak dijelaskan," katanya. 


Hingga puncaknya perusahaan tersebut masih melakukan peledakan dan selanjutnya emak emak langsung menghadang masuk lokasi peledakan, hal ini membuat seketika aktivitas perusahaan berhenti total. 


"Jadi ketiga kalinya melakukan ledakan, lobang ledakan semakin banyak, disitulah emak emak mendatangi lokasi peledakan dan berdiri disitu, hingga juru ledaknya kabur dan hari itu aktivitas mereka terhenti," katanya. 


Permasalahan tersebut tak kunjung selesai bahkan Iroy menyebut Dinas ESDM Provinsi sempat  survey mendatangi lokasi. 


"Iya Dinas ESDM turun inspeksi, dan memang keterangan mereka perusahaan ini melakukan tindakan tak menggunakan prosedur blasting, yang harus diketahui ESDM," ujarnya. 


Manager Kampanye dan Pengarusutamaan Keadilan Iklim, Ahlul Fadli mengatakan seharusnya Indonesia sudah beralih dari energi fosil kepada energi ramah lingkungan. 


Hal ini sebuah konsep yang dapat menurunkan dampak dari eksplorasi batu bara. 


"Misalnya kalau di Pekanbaru itu ada PLTU Tenayan Raya itu mengambil pasir menggunakan batu bara, jadi sungai siak tu tercemar, kemudian juga posisi Ingil itu ada aktivitas blasting dinamit tambang batu bara di desa Batu Ampar. 


"Masyarakat mengeluhkan hampir 50 rumah retak dan ini tidak ada tanggung jawab perusahaan," katanya. 


Menurut Ahlul, kejadian blasting Inhil ini karena tidak adanya transparansi dalam kegiatan yang dilakukan. 


"Awal mulanya tak partisipatif, aktivitas mereka bahkan menggunakan dinamit, tidak transparan, masyarakat terima dampaknya saja, sungai Retehnya pun tercemar," katanya.

Editor: Akmal

Terkini

Terpopuler