RIAUMANDIRI.CO – Badan Urusan Legislasi Daerah (BULD) DPD RI menegaskan pentingnya perlindungan hak masyarakat hukum adat (MHA) dalam sistem regulasi nasional dan daerah.
Dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) yang digelar pada Selasa (5/3/2025), BULD DPD RI membahas pemantauan dan evaluasi peraturan daerah (Perda) serta rancangan peraturan daerah (Ranperda) yang mengatur tentang MHA. RDPU ini bertujuan untuk memperkuat kebijakan yang menjamin kepastian hukum dan perlindungan hak-hak masyarakat adat di berbagai daerah.
Ketua BULD DPD RI Stefanus BAN Liow menegaskan bahwa masyarakat hukum adat memiliki hak yang dijamin oleh konstitusi, tetapi dalam implementasinya masih banyak kendala yang harus dihadapi. Menurutnya, Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat serta prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, sebagaimana diatur dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945.
“Namun, di lapangan, banyak hak-hak masyarakat adat yang masih terabaikan akibat lemahnya regulasi daerah serta minimnya pengakuan formal terhadap komunitas adat,” imbuhnya dalam RDPU yang menghadirkan pakar dari aliansi Masyarakat Hukum Adat Nusantara (AMAN) dan akademisi dari Asosiasi Pengajar Hukum Adat Universitas Jember serta Pusat Kajian Hukum Adat Djojodigoeno Universitas Gajah Mada (UGM).
Sementara itu, Wakil Ketua BULD DPD RI Abdul Hamid juga mengatakan bahwa BULD DPD RI mencatat beberapa permasalahan yang perlu didiskusikan terkait implementasi peraturan perundangan-undangan menjadi peraturan daerah. Pertama adalah ketidakjelasan definisi dan kriteria mengenai masyarakat hukum adat. Kedua, implementasi peraturan perundang-undangan yang tidak konsisten di lapangan. Ketiga, konflik kepentingan antara masyarakat hukum adat dan kepentingan investasi. Keempat, kurangnya partisipasi masyarakat. Kelima, pendidikan dan kesadaran hukum yang masih rendah di masyarakat hukum adat.
"Dan keenam adalah perlindungan hukum yang lemah, sehingga dalam praktiknya sering menimbulkan ketidakadilan bagi masyarakat hukum adat," imbuhnya.
Dalam RDPU tersebut, Deputi Bidang Politik dan Hukum AMAN, Erasmus Cahyadi mengatakan bahwa di berbagai daerah, dalam perumusan perda, kurang melibatkan partisipasi masyarakat adat. Hal ini dikarenakan ketika draf perda dikonsultasikan ke Kementerian Hukum dan HAM, draf perda tersebut berubah signifikan dari rumusan awalnya. “Sehingga masyarakat adat yang awalnya menjadi inisiator justru menolak,” pungkasnya.
Dosen Hukum Adat dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Sartika Intaning Pradhani menjelaskan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dibutuhkan sosialisasi tentang keberfungsian hukum adat dalam Perda maupun UU Masyarakat Hukum Adat. “Pemerintah juga harus memastikan bahwa hukum dapat menyediakan keadilan yang substantif,” ucapnya.
Dalam kesempatan yang sama, Dosen Fakultas Hukum Universitas Jember Dominikus Rato meminta BULD DPD RI agar dapat menjembatani masalah perundang-undangan ini. “Kami mengharapkan DPD RI dapat menjadi jembatan agar setiap Perda dan UU yang terbit tidak berbenturan dengan hukum dan dapat berjalan harmonis," ujar Dominikus.
Dalam RDPU tersebut, Senator asal Bali, Ni Luh Djelantik meminta pimpinan dan seluruh Anggota BULD DPD RI untuk memperjuangkan kembali agar pengesahan RUU Masyarakat Hukum Adat dapat disegerakan karena dapat menjadi legasi dan warisan hukum yang baik untuk seluruh masyarakat Indonesia.
“Kami butuh UU yang dapat mengayomi kami, karena di Bali gesekan dengan warga negara asing karena permasalahan penyalahgunaan fungsi lahan dan pelanggaran hukum adat sangat sering terjadi,” seru Ni Luh.
Senada dengan Ni Luh, Senator Syarif Melvin Alkadrie menegaskan bahwa konflik antar masyarakat dengan pengusaha di berbagai daerah juga bukan lagi hal asing. Sehingga harus menjadi prioritas dalam mendorong pengesahan RUU Masyarakat Hukum Adat.
“Selain pengesahan RUU, pastikan juga Perda yang ada sesuai dengan peraturan UU yang berlaku agar terjadi keselarasan hukum,” ucap Senator asal Kalimantan Barat ini.
Dorongan untuk menindaklanjuti RUU Masyarakat Hukum Adat juga diperkuat oleh Anggota DPD RI dari Provinsi Bangka Belitung Darmansyah Husein. Dirinya berharap ada tindaklanjut yang cepat atas masalah ini. “Masyarakat adat sudah berjasa menjaga alam supaya tetap lestari, sepertinya kita harus mengundang Menteri Hukum agar dapat mendorong percepatan pengesahan RUU ini,” tutupnya.
Sementara itu, dalam RDPU yang dilakukan siangnya, Joeni Arianto Kurniawan dari Center of Legal Pluralism Studies (CLeP) Fakultas Hukum Universitas Airlangga, mengatakan bahwa masyarakat harus dapat memiliki akses dalam penyusunan perda oleh DPRD. Dalam penyusunan Perda, Joeni menilai hal tersebut didasarkan pada agenda politik yang terdapat di DPRD. Sehingga dalam merumuskan perda terkait masyarakat hukum adat, harus menunggu will of politic. Dan hal tersebut menurutnya menjadi hal yang sulit untuk diwujudkan dalam segera.
"Kalau tidak, kapan masyarakat hukum adat di suatu wilayah dapat diakui, itu masalahnya. Solusinya harus dimasukkan ke hukum administrasi melalui mekanisme pendaftaran," jelasnya.
Joeni juga menilai, RUU Masyarakat Hukum Adat dapat menjadi turunan langsung Pasal 18B Ayat (2) UUD 1945. Karena selama ini di level UU belum ada peraturan perundang-undangan mengatur lebih lanjut pasal tersebut secara spesifik. "Saya selalu mendorong untuk disahkan RUU Masyarakat Hukum Adat. Mudah-mudahan bisa kita dorong dan segera bisa kita sahkan," tegasnya.
Dalam kesempatan yang sama, R Yandi Zakaria dari Pusat Kajian Etnografi Masyarakat Adat (PusTAKA) menilai bahwa adanya persoalan-persoalan yang muncul terkait masyarakat hukum adat, tidak hanya disebabkan pada level lemahnya atau tidak adanya perda yang mengatur keberadaan masyarakat adat. Tetapi sumber permasalahan terletak pada persoalan hukum yang berupa peraturan perundang-undangan di tingkat nasional yang lebih tinggi. Terkait pengakuan dan perlindungan terhadap masyarakat adat, Zakaria menilai dibutuhkan arah kebijakan hukum nasional dan daerah. Menurutnya, RUU Pengakuan dan Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat harus merinci mekanisme pengadministrasian pengakuan dan perlindungan keberadaan dan hak masyarakat adat.
"Selain itu juga peraturan daerah yang mengatur tentang keberadaan subjek hak, baik struktur luas dan struktur dalam, serta objek hak masyarakat adat termasuk individu maupun komunal di dalamnya," jelasnya. (*)