RIAUMANDIRI.CO - Komite I DPD RI menilai bahwa implementasi kebijakan otonomi daerah belum mampu mencapai sasaran dan tujuan yang diharapkan.
Demikian mengemuka dalam rapat dengar pendapat Komite I bersama Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia (APPSI), Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (APEKSI), Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (APKASI), Selasa (4/3/2025).
Komite I DPD RI melihat isu-isu tentang pemerintahan daerah merupakan permasalahan aktual dan krusial di Indonesia. UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Pemda) memiliki paradigma otonomi daerah sebagai pembagian urusan pemerintahan, dengan mempertimbangkan prinsip keseimbangan (insearch of equilibrium) urusan pemerintahan.
“Tanpa kewenangan yang dipegang daerah, maka daerah menganggap otonomi daerah telah kehilangan ruhnya,” kata Ketua Komite I DPD RI Andi Sofyan Hasdam, didampingi Wakil Ketua Komite I Bahar Buasan (Babel), Muhdi (Jawa Tengah), di Komplek Parlemen Senayan, Jakarta,
Andi Sofyan menambahkan, dalam implementasi UU Pemda tersebut, kembali terulang masalah klasik yaitu undang-undang sektoralnya sendiri tidak disesuaikan dengan UU Pemda dan adanya resistensi dari pihak pemda kabupaten/kota, sehingga menimbulkan ketidakpastian, bahkan kemandegan dalam penanganan urusan pemerintahan.
“Alhasil, pelayanan publik dan peningkatan “local welfare” jelang sepuluh tahun usia UU Pemda hingga kini masih jauh dari harapan,” ungkap Andi.
UU Cipta Kerja misalnya (yaitu UU No.11 Tahun 2020 yang kemudian diganti dengan UU No. 6 Tahun 2023), terdapat 12 (dua belas) terkait perizinan yang ditarik oleh pemerintah pusat sehingga mendistorsi kewenangan pemda diantaranya kewajiban kepala daerah dalam pemberian pelayanan perizinan berusaha, antara lain persetujuan kesesuaian tata ruang, izin pemanfaatan ruang laut, izin usaha hortikultura, izin pelayanan kesehatan hewan, izin tenaga kesehatan hewan, izin bidang kehutanan, izin usaha panas bumi, izin usaha industri, kawasan industri, izin usaha gudang, izin usaha perdagangan, dan izin bengkel.
“Selain itu, tidak ada satupun kementerian/lembaga yang menyesuaikan undang-undang sektoralnya dengan UU Pemda No.23 Tahun 2014 tersebut,” jelasnya.
Sementara itu, Ketua Umum APKASI Mochamad Nur Arifin, mengutarakan bagaimana daerah bisa mandiri jika dalam tata kelola daerah ditarik pusat, karena menurutnya pusat pasti hanya memilih yang strategis dan prioritas. Arifin mengutarakan daerah jangan disamakan dengan pusat, terkait otonomi lebih ke distribusi otoritas, dan sejauh mana pusat yakin bisa memakmurkan seluruh rakyatnya.
“Jika semua bisa dilakukan pusat termasuk transfer DAU dan DAK berarti tidak perlu distribusi otoritas ke kabupaten/kota, karena bagaimana daerah bisa mandiri karena pusat pasti memilih yang strategis dan prioritas, sehingga tidak terjadi pemerataan,” tuturnya.
Senada dengan itu, Direktur Eksekutif/Sekretaris Dewan Pengurus APEKSI, Alwis Rustam, terkait pelaksanaan UU No 23 Tahun 2014 tentang Pemda tetap menjadi acuan utama dalam penyelenggaraan otonomi daerah, namun berbagai tantangan masih muncul dalam implementasinya. Persoalan hukum terkait pembagian urusan pemerintahan, tarik-menarik kewenangan pusat-daerah, pemenuhan layanan publik, penyerapan APBD, dan kemandirian daerah menjadi isu krusial yang perlu dibahas.
“Harus reviu ulang kewenangan untuk mengatasi tumpang-tindih regulasi yang tidak lagi relevan dengan UU No. 23/2014,” ucap Alwis.
Selain itu, persoalan moratorium pemekaran daerah yang hingga kini masih belum dicabut pemerintah dirasa telah menghambat pergerakan daerah-daerah yang sudah siap dan memenuhi syarat memekarkan diri. Berbagai alasan dikemukakan oleh pemerintah dari mulai belum dapat diterbitkannya Peraturan Pemerintah tentang Desain Besar Penataan Daerah hingga masalah ketersediaan anggaran.
“Padahal, sampai saat ini tidak kurang dari 186 usulan pemekaran daerah telah masuk ke DPD RI, hal ini perlu perhatian pemerintah,” tandas Ketua Komite I DPD RI. (*)