WSN Minta Presiden Benahi Industri Sawit Ketimbang Nambah Luas Perkebunan

Rabu, 08 Januari 2025 - 15:07 WIB
Ketua Umum WSN, Abdul Aziz. (RMC/Ist)

RIAUMANDIRI.CO - Wartawan Sawit Nusantara (WSN) meminta Presiden Prabowo Subianto untuk tidak terburu-buru membuat kebijakan untuk menambah luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia. Sebab, dengan luas perkebunan kelapa sawit yang ada saat ini, bila dikelola dengan baik, sebenarnya akan lebih  dari  cukup  untuk  memenuhi  kebutuhan  dalam  negeri  maupun ekspor.

Ketua Umum WSN, Abdul Aziz mengatakan, berdasarkan data terbaru Kementerian Pertanian, saat ini ada sekitar 17,3 juta hektaree kebun kelapa sawit  yang  tersebar  di  31  provinsi  yang  ada  di  Indonesia.  Angka  ini melonjak dari 16,83 juta hektaree pada 2022.

“Namun luasan ini  hanya bisa menghasilkan sekitar 45  juta ton  Crude Palm Oil  (CPO)  dalam setahun. Jika diasumsikan rendemen rata-rata Tandan Buah Segar adalah 20% per kilogram, ini berarti produksi TBS kita hanya sekitar 225 juta ton per tahun. Nah, kalau produksi ini dibagi dengan luasan, kita ambil saja luasannya 16,83 juta hektaree, berarti produksi TBS kita per hektaree per tahunnya, hanya sekitar 13,4 ton. Sama saja dengan sekitar 1,1 ton per hektare per bulan. Ini  sangat  kecil,” ujar pria 49  tahun  ini menjelaskan.

Mestinya kata Aziz, produksi TBS per hektaree itu bisa di angka 3-4 ton per hektaree per bulan. Ini kelihatan dari bukti-bukti yang didapat oleh WSN di beberapa daerah di Indonesia seperti Riau, Sumatra Selatan, Kalimantan Timur dan Sulawesi Tenggara.

“Kami mendapati di daerah-daerah ini, kebun kelapa sawit hasil Program Peremajaan Sawit Rakyat (P-PSR), produksi per hektaree per bulannya telah mencapai angka segitu dan bahkan ada yang mencapai 5-6 ton per hektaree per bulan. Ini berarti, bila dikelola dengan baik, hasilnya juga akan bagus kan?” katanya.

Kalau kemudian produksi TBS telah mencapai 3 ton per hektaree per bulan, ini berarti produksi CPO nasional kata Aziz sudah  tiga kali lipat dari produksi saat ini.

“Produksi CPO kita sudah akan mencapai 135 juta ton per  tahun. Itu bila rendemen rata-rata yang didapat hanya 20% per kilogram TBS. Kalau rendemen TBS hasil PSR biasanya lebih. Tapi kita ambil saja 20% itu. Nah, CPO sebanyak ini saya pastikan sudah lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri dan ekspor, termasuklah itu untuk kebutuhan bauran biodiesel B50 yang membutuhkan CPO sekitar
15  juta ton per tahun,” bebernya.

Sebenarnya kata Aziz, kalau merujuk pada Rencana Aksi Nasional Kelapa Sawit Berkelanjutan (RAN-KSB) yang ditetapkan melalui Instruksi Presiden Nomor 6 tahun 2019, mestinya produksi TBS nasional sudah melonjak tajam. Sebab di saat itu, Kementerian Pertanian telah pula mengeluarkan data bahwa ada sekitar 2,7 juta hektaree kebun kelapa sawit rakyat yang sudah musti diremajakan. Angka ini belum termasuk luasan lahan sawit perusahaan yang juga akan menjalani peremajaan.

“Namun apa  yang terjadi dengan lahan yang 2,7  juta hektare itu? Dari 2017-2024, kebun sawit yang telah menjalani peremajaan, hanya 334.834 hektaree. Ini berarti masih ada lebih dari 2,3 juta hektare lagi kebun sawit rakyat yang harus diremajakan. Kok bisa luasan peremajaan hanya segitu? Mestinya ini dululah yang diberesi oleh Presiden Prabowo,” pinta Aziz.

Sebab dengan 2,3 juta hektare itu saja rampung diremajakan lanjut Aziz, empat tahun tahun kemudian produksi TBS dari lahan seluas itu sudah mencapai 82,8 juta ton dalam setahun. Ini setara dengan 16,56 juta ton CPO dalam setahun bila rendemen rata-ratanya hanya 20%.

“Sudah  berapa banyak keluarga petani yang sejahtera bila  peremajaan itu segera dilakukan dan kemudian kebunnya dirawat dengan baik. Pertanyaan yang kemudian muncul, kenapa peremajaan sawit rakyat itu teramat sulit dituntaskan? Itu lantaran teramat banyak pula sebenarnya persoalan yang terjadi di industri kelapa sawit  kita, khususnya pada petani sawit,” katanya.

Persoalan pertama menurut Aziz, selama ini petani teramat sulit mengakses pupuk dan kelengkapan lainnya demi merawat kebun untuk meningkatkan produksi. Petani sawit tidak boleh mengakses pupuk bersubsidi.

Persoalan kedua,  teramat  rumit  persyaratan  yang  harus  dipenuhi  oleh petani  sawit  untuk  bisa  ikut  program  peremajaan sawit rakyat. Selain harus melengkapi legalitas,  juga  harus  mendapatkan 'lampu hijau' dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan Kehutanan terkait tidak tumpang tindih dengan Hak Guna Usaha (HGU) dan tidak berada di kawasan hutan.

“Syarat-syarat semacam ini merepotkan petani yang secara logika saja, telah mengelola lahannya lebih dari 25 tahun. Biasanya kan lahan yang akan diremajakan itu kebun yang berumur lebih dari 25 tahun. Kalau selama 25 tahun enggak ada persoalan, kenapa kemudian dipersoalkan,” katanya.

Lalu persoalan berikutnya, petani sawit teramat sulit mengakses penyuluh perkebunan kelapa sawit, sebab selama ini penyuluh yang ada hanya penyuluh sektor pertanian tanaman pangan.

“Ada juga petani ini yang tidak bisa ikut PSR lantaran kebunnya diklaim dalam kawasan hutan. Data yang kami dapatkan, lebih dari 1,5 juta hektare kebun sawit  rakyat diklaim dalam kawasan hutan,” ujar Aziz.

Terkait klaim kawasan hutan ini, WSN juga meminta agar Menteri Kehutanan, Raja Juli Antoni tidak gegabah membuat pernyataan menyediakan 20 juta hektare hutan untuk mendukung pangan dan energi.

“Kami minta Pak  Menteri jangan Asal  Bapak Senang  (ABS). Beresi  dulu pengukuhan kawasan hutan itu sesuai dengan pasal 14 dan 15 Undang- Undang  41  Tahun  1999  Tentang  Kehutanan. Jangan justru mengklaim lahan-lahan rakyat menjadi kawasan hutan. Yang kami temukan seperti itu, banyak kebun-kebun rakyat yang sudah dikuasai lebih dari 25 tahun diklaim menjadi kawasan hutan. Sementara sampai sekarang tidak jelas pengukuhan kawasan hutan di negara ini  seperti apa,” katanya.

Kalau memang Menteri Kehutanan mendukung keinginan Presiden Prabowo kata Aziz, lepaskan itu hak-hak masyarakat dari klaim kawasan hutan agar lahan-lahan itu bisa bernilai ekonomis untuk mendukung usaha rakyat.

“Intinya, kami sangat berterimakasih Presiden Prabowo telah peduli dengan keberlanjutan  perkebunan  kelapa  sawit  Nasional. Namun bukan berarti harus menambah luasan perkebunan kelapa sawit. Kalau persoalan pada lahan yang sudah eksisting diberesi, saya yakin misi ketahanan pangan dan energi  yang  diusung  Presiden  Prabowo,  akan  tercapai  sebelum  masa jabatan lima  tahun pertamanya usai, saya yakin itu,” Aziz optimis.

Editor: Nandra F Piliang

Tags

Terkini

Terpopuler