SETARA: Tolak Patriarki dan Kekerasan Terhadap Perempuan

Selasa, 10 Desember 2024 - 12:26 WIB

Riaumandiri.co - Kampanye 16 Hari Anti-Kekerasan terhadap Perempuan (16 HAKTP) adalah kampanye nasional inisiasi Komnas Perempuan yang dilakukan sejak tahun 2003 dalam rangka memperingati kampanye internasional 16 Days of Activism Against Gender Violence.

Aksi yang digelar SETARA pada Minggu, (9/12) pagi mengajak masyarakat untuk turut serta menolak adanya budaya patriarki dan kekerasan seksual terhadap perempuan.

Salah satu bentuk aksi yang dilakukan adalah meminta tanda tangan dan cap pada pohon solidaritas dengan tujuan mendukung pejuang perempuan yang menyuarakan dan memperjuangkan kondisi perempuan menjadi lebih baik.

Diketahui Kampanye internasional 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan telah diperingati sejak tahun 1991 dan merupakan gagasan dari Women’s Global Leadership Institute dengan bantuan dukungan oleh Center for Women GlobalLeadership.

Kampanye ini dilakukan setiap tahun mulai tanggal 25 November hingga 10 Desember, merupakan suatu upaya untuk menghapus segala bentuk kekerasan terhadap perempuan di seluruh dunia dan menyoroti perjuangan perempuan untuk hidup tanpa kekerasan dan diskriminasi, serta mendorong masyarakat untuk bekerja sama dalam menciptakan dunia yang lebih adil dan aman bagi perempuan.

Pemerintah belum secara serius melaksanakan isi UU RI Nomor 7 tahun 1964 mengenai Penghapusan berbagai bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Kekerasan terhadap perempuan di Indonesia khususnya di Riau masih menjadi masalah serius, Berdasarkan data Komnas Perempuan, tahun 2023 terdapat 289.111 kasus kekerasan berbasis gender.

Sementara itu, pada tahun 2024, Komnas Perempuan mencatat 34.682 perempuan yang menjadi korban kekerasan, dengan kekerasan seksual sebagai kasus tertinggi, yaitu 15.621 kasus.

Jika dilihat dari data kasus Provinsi Riau Kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan di Riau tahun 2021 tercatat sebanyak 143 kasus meningkat 40 kasus dibandingkan tahun 2020 yang hanya 103 kasus.

Dari 143 kasus kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak tahun 2021 terdiri dari kasus kekerasan terhadap perempuan 38 kasus, korban anak perempuan 69 kasus dan korban anak laki-laki 38 korban. Kasus kekerasan seksual pada anak 42, KDRT 41 kasus. 

Selain kekerasan terhadap perempuan dan anak, diskriminasi dan kekerasan terhadap penyandang disabilitas juga masih menjadi persoalan serius di Indonesia. Penyandang disabilitas seringkali menghadapi berbagai bentuk perlakuan tidak adil, baik dalam bentuk stigma sosial, ketidaksetaraan kesempatan, maupun kekerasan fisik dan psikologis.

Data menunjukkan bahwa diskriminasi terhadap penyandang disabilitas terjadi dalam berbagai sektor kehidupan, seperti pendidikan, pekerjaan, layanan kesehatan, dan akses terhadap fasilitas publik.

Padahal, Konvensi PBB tentang Hak-Hak Penyandang Disabilitas (UNCRPD) yang telah diratifikasi oleh Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 menegaskan pentingnya penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas. Selain itu, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas juga menjamin perlindungan hukum bagi penyandang disabilitas di Indonesia. 

Namun, implementasi kebijakan ini masih menghadapi berbagai tantangan, terutama dalam mengubah pola pikir masyarakat yang masih kerap memandang penyandang disabilitas sebagai warga negara kelas dua.

Seringkali, diskriminasi berujung pada kekerasan, baik secara verbal, fisik, maupun sistemik, yang semakin memperburuk kondisi penyandang disabilitas. Mereka sering kali tidak memiliki akses terhadap mekanisme perlindungan hukum yang memadai, sehingga kekerasan yang dialami jarang terlaporkan dan pelakunya jarang mendapatkan sanksi.

Selain itu kesadaranmasyarakat tentang pentingnya perlakuan yang setara terhadap penyandang disabilitas masih rendah. Untuk mewujudkan masyarakat yang inklusif, diperlukan upaya kolaboratif antara pemerintah, masyarakat, dan organisasi penyandang disabilitas.

Hal ini mencakup peningkatan kesadaran publik, penguatan regulasi, serta penyediaan sarana dan prasarana yang ramah disabilitas. Dengan menciptakan lingkungan yang inklusif dan aman, kita tidak hanya melindungi hak penyandang disabilitas, tetapi juga membangun masyarakat yang lebih adil dan berkeadilan.

Sempena peringatan 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (16 HAKTP) Tahun 2024 membentuk Kolasi Seruan Tolak Patriarki (SETARA) Riau yang terdiri dari Extinction Rebellion (XR) Riau, Fitra Riau, FKKADK, HWDI, Kabut Riau, LPESM, LBH-Pekanbaru, Sabahat Puan Riau, GERKATIN Riau, Formasi Disabilitas, Himpunan Disabilitas Muhammadiyah, FOPERSMA, WALHI Riau dan Kohati Cabang Pekanbaru mengangkat Tema “Riau Waras Gender Runtuhkan Patriarki” yang terdiri daribeberapa rangkaian kegiatan dimulai sejak 2 Desember – 10 Desember 2024.

Koalisi ini bertujuan untuk menggalang gerakan solidaritas yang lebih luas, melakukan dan mendukung kegiatan bersama, mengajak semua orang untuk turut terlibat aktif dan menjadi pelopor perubahan dalam pencegahan kekerasan dan diskriminasi.

Perwakilan massa aksi, Putri Azzahra mengatakan perempuan sangat rentan terdampak krisis iklim, salah satunya dampak tambang terhadap masyarakat Rempang, Papua, dan Kalimantan.

"Perempuan saat ini selalu terdampak krisis iklim, mereka terancam bencana lingkungan, seperti tambang yang merusak ruang lingkup perempuan, oleh karena itu perempuan selalu jadi korban ketidakadilan," katanya.

Akses air bersih, dan ketersediaan pangan yang cukup merupakan hak wajib yang harus didapatkan perempuan dan kaum rentan , serta perempuan turut serta menjaga lahan untuk tanah leluhur mereka.

Perwakilan Sahabat Puan, Sartika atau akrab disapa Cik Tika menyebut anggaran APBD Provinsi Riau belum cukup untuk mengatasi stunting dan permasalahan perempuan.

Oleh karenanya perlu penambahan keterwakilan perempuan di parlemen, saat ini, minimnya partisipasi perempuan dalam penentuan kebijakan publik membuat kaum hawa itu rentan diskriminasi dan program yang tidak sesuai dengan pemenuhan hak-hak perempuan.

"Pembangunan Provinsi Riau ini hanya fokus pada infrastruktur, APBD Riau aja 10T tapi belanja daerah 11T defisit 900M," sebutnya.

Editor: Akmal

Terkini

Terpopuler