Riaumandiri.co - Pesta demokrasi dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) berpotensi dicurangi. Kepala Daerah terpilih yang dihasilkan dari pemilihan yang curang akan memimpin dengan cara yang korup. Kebijakan yang ditetapkan akan sangat berpotensi menindas rakyat.
Akademisi Hukum UNRI, Zainul Akmal menilai pemimpin yang korup tersebut dapat menyebabkan bertambahnya angka kemiskinan dan dapat menghambat aktivitas perekonomian.
"Pemimpin yang korup akan melanggengkan kemiskinan. Golongan ekonomi menengah akan terancam dan terhambat dalam meningkatkan kemampuan ekonomi. Ketika hal ini terjadi, maka hanya bisa menikmati nerakanya dunia," ujar Zainul.
Ia mengungkapkan oknum penegak hukum yang seharusnya memberantas kecurangan dan korupsi, dibungkam dengan modal yang cukup besar.
"Kecurangan membutuhkan modal yang besar. Oknum-oknum penegak hukum perlu disejahterakan, agar kejahatan tidak diadili," katanya.
Kedepannya alam Riau akan digadaikan untuk membayar jasa si cukong sebagai donatur kecurangan. Riau yang kaya akan sumber daya alam (SDA) hanya akan dinikmati oleh cukong dan antek-anteknya. Masyarakat Riau hanya bisa bercerita dan berhayal tentang kekayaan SDA Riau.
Data Potensi Kecurangan
Akademisi Zainul melaporkan hingga 4 November 2024, Badan Pengawas Pemilu (BAWASLU) Provinsi Riau menerima 114 laporan pelanggaran Pilkada.
Proses laporan tersebut dapat dikategorikan dalam tiga bentuk. Pertama laporan pelanggaran Pilkada sudah teregistrasi, dan sebagian sudah ditindaklanjuti. Kedua laporan tidak teregistrasi dan sebagian tidak menyertakan alat bukti serta ketika dipanggil, pelapor tidak datang. Ketiga laporan belum diregistrasi.
Dugaan bentuk pelanggaran bisa dalam berbagai hal. Seperti netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN) dan Kepala Dusun.
Kampanye hitam dan politik uang. Relasi kuasa baik berbentuk intimidasi lepas jabatan, maupun ancaman penegakan hukum pidana untuk dipenjara. Serta pelanggaran kode etik.
Laporan yang diterima oleh Bawaslu menunjukkan adanya potensi besar kecurangan dalam Pilkada 2024. Jumlah laporan yang cukup banyak, perlu mempertanyakan tugas penegakan hukum oleh Aparat Penegak Hukum dan penyelenggara pemilu itu sendiri.
Pilkada yang demokratis sebagaimana diamanatkan oleh Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD), Pasal 18 ayat (5) terancam tidak akan terlaksana dengan prinsip bebas, jujur dan adil sebagaimana diatur dalam Pasal 22E.
Pengawasan independen dan mandiri harus eksis. Menurutnya masyarakat adalah benteng terahir demokrasi. Kedaulatan berada di tangan rakyat sebagaimana disebut dalam UUD Pasal 1 ayat (2). Masyarakat adalah kelompok manusia yang bersifat Independen dan bisa memilih bebas dari intervensi pihak manapun.
Masyarakat harus peduli dengan penyelenggaraan pesta demokrasi ditingkat daerah yang diselenggarakan secara nasional. Tidak ada kata lelah atau bosan, masyarakat harus tetap siaga memantau penyelenggara negara dan Timses Paslon. Masyarakat harus memastikan bahwa Pilkada terselenggara secara bebas, jujur dan adil.
Peran masyarakat dalam pengawasan penyelenggaraan pemilihan sudah diatur dalam Pasal 131 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota menjadi Undang-Undang. Pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat sudah mendapat kepastian hukum dan hal demikian adalah bentuk dari perlindungan hukum itu sendiri. Masyarakat tidak perlu khawatir terkait keterlibatannya dalam mengawasi proses Pilkada.
ASN, lembaga Kejaksaan dan Polisi sebagai penegak hukum, serta Bawaslu dan KPU sebagai penyelenggara Pilkada tidak boleh luput dari pantauan Masyarakat dan Timses Paslon . Potensi terburuk dari kecurangan dalam Pilkada adalah keterlibatan oknum-oknum ASN, penyelenggara pemilihan dan penegak hukum.
Potensi terburuk dari oknum ASN seperti adanya intervensi antara atasan dengan bawahan dan klaim pembangunan sehingga mempengaruhi suara rakyat. Intervensi bisa dalam bentuk pemberhentian, pemindahan wilayah kerja atau dinas tempat bekerja. Atau ancaman akan diberhentikan dari jabatan. Bisa juga berupa janji untuk mendapatkan jabatan tertentu.
Potensi terburuk dari penegak hukum seperti pembiaran terhadap kecurangan dalam pemilihan. Lebih buruk lagi jika digunakan kekuasaannya untuk mengintervensi orang atau pihak tertentu memilih calon tertentu. Bentuknya bisa berupa ancaman penegakan hukum (ditangkap dan dipenjara).
Potensi terburuk dari oknum penyelenggaraan pemilihan baik Bawaslu dan KPU berpihak kepada salah satu paslom. Sehingga pelanggaran yang dilakukan oleh paslon tersebut tidak diproses dan penggelembungan suara untuk paslon tersebut.
Oleh sebab itu, masyarakat harus aktif dalam mengawasi penyelenggaraan Pilkada. Proses kampanye yang sedang berlangsung saat ini, pada saat proses pemilihan hingga penghitungan suara, masa sanggah terhadap hasil pilkada dan proses di pengadilan terkait sengketa hasil pilkada, masyarakat harus hadir.
Langkah-langkah yang bisa dilakukan oleh masyarakat dalam proses pengawasan sebagai berikut:
1. Mencatat dan mendokumentasikan seperti mempoto dan merekam setiap dugaan pelanggaran Pilkada.
2. Melaporkan hasil dugaan pelanggaran kepada lembaga berwenang.
3. Melakukan konferensi pers atau mempublikasikan hasil temuan dugaan pelanggaran dengan mengedepankan asas praduga tidak bersalah (tidak menyebutkan nama orang atau intansi, dan menggunakan kata "diduga" serta menyerahkan proses penegakan kepada yang berwenang).
4. Tidak melakukan tindakan kekerasan atau melawan hukum terhadap orang atau intansi yang diduga melakukan kejahatan dalam Pilkada.