RIAUMANDIRI.CO - Anggota Komisi X DPR RI Ledia Hanifa Amaliah mengungkapkan keprihatinan atas kompleksitas sistem pendidikan tinggi di Indonesia, terutama terkait kelembagaan dan pembiayaan pendidikan.
Menurutnya, keberagaman klasifikasi perguruan tinggi negeri (PTN) – seperti PTN Badan Hukum (PTNBH), PTN Badan Layanan Umum (BLU), dan PTN Satuan Kerja (Satker) – menimbulkan rumitnya pengelolaan sekaligus pendanaan yang menghambat masa depan pendidikan tinggi.
"Dosen-dosen di PTNBH misalnya, tidak lagi berstatus PNS, tapi pegawai perguruan tinggi dengan pajak progresif. Namun, upaya untuk memperkuat pembiayaan belum terlihat, dan jalan pintas seperti menaikkan uang kuliah tunggal (UKT) menjadi pilihan," kata saat Rapat Dengar Pendapat Umum dengan Pimpinan Universitas Indonesia, Institut Teknologi Bandung, Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI), Eksekutif Center for Innovation Policy and Governance (CIPG), Forum Direktur Politeknik Negeri Se-Indonesia, dan Perwakilan Serikat Pekerja Kampus, di Gedung Nusantara I, Senayan, Jakarta, Selasa (5/11/2024).
Ledia menyayangkan kondisi PTN Satker yang masih terkendala dalam pengembangan karena sumber daya terbatas yang hanya cukup untuk membayar gaji. Berdasarkan laporan yang ia terima, ditemukan adanya kesenjangan kesejahteraan antara perguruan tinggi di wilayah barat dan timur Indonesia.
"Perguruan tinggi yang masih berstatus Satker belum bisa bergerak bebas. Sementara itu, perguruan tinggi swasta sangat bergantung pada yayasan, yang kualitasnya tergantung visi dari yayasan tersebut," katanya.
Selain itu, Bantuan Operasional PTN (BOPTN) dihitung berdasarkan jumlah mahasiswa, yang menjadi tantangan besar bagi PTN di Indonesia timur dengan jumlah mahasiswa yang lebih sedikit dan fasilitas terbatas.
Politisi PKS itu mempertanyakan arah kontribusi pendidikan tinggi melalui riset dengan keselarasan cita-cita pemerintah saat ini. Seharusnya berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2019 Tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, jelas Ledia, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) disusun juga berdasarkan Rencana Induk dan Peta Jalan Pemajuan IPTEK.
"Undang-Undang Sistem Nasional IPTEK sebenarnya mengamanatkan riset diarahkan sesuai Rencana Induk Pemajuan IPTEK. Namun, hingga kini belum ada RIP IPTEK, tapi RPJM sudah disusun. Ini arah perguruan tinggi bagaimana ke depan?" tanyanya.
Selain itu, dalam hal kesejahteraan dosen, Ledia menyebut masih banyak tantangan, terutama dalam pengupahan dan peningkatan kualifikasi. "Dosen ASN yang ditugaskan belajar hanya mendapat gaji pokok, yang belum cukup menghidupi keluarga. Beasiswa untuk dosen juga terbatas, dan ini menjadi masalah besar, apalagi bagi dosen di perguruan tinggi swasta," ujarnya.
Selain itu, dirinya juga menyoroti perbedaan harga satuan anggaran perguruan tinggi di bawah Kementerian Pendidikan yang lebih rendah dibandingkan kementerian lain. Harga satuan tersebut, jelasnya, mencakup gaji dan tunjangan dosen serta tenaga pendukung.
"Jika dibandingkan dengan perguruan tinggi di bawah Kementerian Agama atau Keuangan, anggaran untuk PTN di bawah Kemendikbud jauh lebih kecil. Hal ini perlu segera diperbaiki untuk mengurangi kesenjangan," ungkapnya.
Menutup pernyataan, walaupun mengalami keterbatasan anggaran, Ledia mendesak pemerintah melalui Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi untuk memberikan kepastian melalui kebijakan arah pendidikan tinggi selama 5 (lima) tahun ke depan.
Hal ini penting agar cita-cita pemerintah terbaru saat ini berupa terbentuknya sistem pendidikan di Indonesia yang mampu mencetak pemimpin yang terbaik untuk bangsa dan negara bisa terwujud.
"Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi telah mengalami pengurangan anggaran drastis untuk tahun 2025. Kita perlu memastikan desain kebijakan tetap tersusun menyeluruh supaya pelan-pelan carut marut masalah perguruan tinggi bisa selesai," pungkas legislator daerah pemilihan Jawa Barat I itu. (*)