Riaumandiri.co - Presiden Jokowi membuka kebijakan keran ekspor pasir laut yang kontroversial di akhir masa jabatannya.
Dikarenakan telah menjadi perhatian publik, Presiden Jokowi pun angkat bicara soal perdagangan pasir laut dengan mengatakan bahwa yang akan dijual adalah sedimentasi, bukan pasir laut.
Ia juga menyebut sedimentasi itu sebagai benda yang mengganggu alur jalan kapal di laut. “Sekali lagi, itu bukan pasir laut ya. Yang dibuka, (hasil) sedimentasi,” kata Jokowi ketika memberi keterangan pers usai meresmikan Kawasan Islamic Financial Center di Menara Danareksa, Jakarta, Selasa, 17 September 2024.
Pengamat Ekonomi, Assoc. DR. H. Edyanus Herman Halim, SE., MS menilai pembukaan keran ekspor pasir laut harus dikontrol. Apabila dieksploitasi secara besar-besaran dapat merusak lingkungan yang ada.
"Potensi sedimen pasir laut kita besar dan kalau di eksploitasi harus dikontrol agar tidak melebar kemana-mana," kata Edyanus pada Jum'at (27/9) malam.
Edyanus menyebutkan aturan tersebut telah di implementasiman di Kota Dumai.
Ia menilai kebijakan tersebut ada plus minusnya, ditambah, kebijakan tersebut harus memiliki manajemen resiko dan mengelolanya agar manfaat yang dihasilkan dapat bermanfaat secara positif.
"Semua kebijakan tentu ada plus minusnya, menjadi tugas kita untuk mengelola resiko yang ditimbulkannya supaya dapat dinikmati secara positif," sebutnya.
Pengawasan ketat perlu dilakukan untuk mencegah kerusakan terumbu karang, dan ikan yang bernaung di dalamnya.
Pengamat Edyanus mengatakan agar pemerintah tidak hanya mengambil sedimentasi saja bisa ya, hendaknya harus memanfaatkan kapal tol laut yang melewati Selat Malaka.
"Kita harus memanfaatkan peluang dibalik itu, seperti terbukanya kesempatan untuk membuka tol laut dan tambat kapal yang lebih efisien bagi kapal kapal yang berkunjung ke Dumai dan Selat Malaka," sambungnya.
Pendapat Edyanus selaras dengan laporan dan Siaran Pers Walhi Riau beberapa waktu yang lalu merespon kebijakan Jokowi membuka ekspor pasir laut.
PP Nomor 26 Tahun 2023 memuat beberapa aturan yang memberikan kelonggaran bagi pelaku usaha untuk mengekstraksi pasir laut dan material sedimen lain berupa lumpur. Menurut Pasal 9 ayat (2), pemanfaatan hasil sedimentasi laut atau tambang pasir laut berupa: reklamasi di dalam negeri; pembangunan infrastruktur pemerintah; pembangunan prasarana oleh Pelaku Usaha; dan/atau ekspor sepanjang kebutuhan dalam negeri terpenuhi dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Umi Ma’rufah, Koordinator Riset dan Kajian Kebijakan WALHI Riau, mengatakan selain bertentangan dengan komitmen perlindungan terhadap pesisir dan pulau-pulau kecil, diberikannya legalitas untuk mengeruk pasir laut dengan dalih sedimentasi juga akan memperparah terjadinya perubahan iklim.
“Dalam konteks perubahan iklim, kebijakan Jokowi akan semakin memperparah ancaman terhadap keseleamatan lingkungan dan rakyat yang berada di wilayah pesisir dan pulau kecil. Dalam konteks perubahan iklim, jelas ancaman naiknya kenaikan permukaan air laut akan diperparah ancaman abrasi dan intrusi dari aktivitas ekstraktif ini,” sebut Umi.
Terkait kedaulatan negara, kebijakan Jokowi ini juga memperlihatkan betapa negara abai pada konteks batas negara yang akan berkurang apabila bibir pantai pulau terluar tergerus karena kebijakan tambang pasir.
“Apakah kebijakan ini terkait dengan kepentingan pendanaan sejumlah kelompok usaha di Pemilu 2024, akan terjawab pada perizinan-perizinan yang akan aktif melakukan aktivitas ini. Tapi belajar dari pengalaman pemilu-pemilu sebelumnya, memang terdapat fakta lonjakan kenaikan jumlah izin hutan dan kebun di tahun politik. Dan kali ini Jokowi memperlihatkan kebijakan serupa,” kata Umi.
Darwis Jon Viker, Dewan Daerah WALHI Riau, menyebut kebijakan pembukaan ekspor pasir laut tidak memperhatikan kepentingan nelayan tradisional yang banyak tersebar di pesisir dan pulau-pulau kecil Riau.
"Khusus Riau, kebijakan ini jelas bertentangan permintaan nelayan tradisional yang aktivitas melautnya diancam tambah pasir laut. Contohnya di Pulau Rupat, pada sekitar April 2022, nelayan Rupat bersurat ke presiden minta penghentian dan pencabutan izin tambang. Namun, bukannya mendengar keluhan nelayan Rupat, Presiden malah mengeluarkan peraturan yang bertentangan dengan harapan para nelayan tersebut,” ujar Darwis.
Darwis menilai kebijakan ini memperlihatkan Negara tegas menyatakan keberpihakannya pada investasi, bukan rakyat dan ekosistem yang menopang kehidupan seluruh entitas alam.
“Negara sudah jelas mengabaikan kepentingan rakyat dan alam dengan lebih berpihak pada investasi. Tentunya ini akan membuat perjuangan mempertahankan pesisir dan pulau-pulau kecil dari kerusakan laut makin berat. Maka di Hari Anti Tambang sekaligus Hari Lingkungan Hidup Sedunia ini kita harus menguatkan perlawanan kita terhadap daya rusak tambang yang mengancam ruang hidup rakyat dan ekosistem laut untuk masa depan generasi,” tutup Darwis.