RIAUMANDIRI.CO - Sejumlah kalangan menilai kasus perundungan (bullying) di Indonesia sudah pada level 'merah'. Berdasarkan laporan Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), ada 15 kasus perundungan di satuan pendidikan yang tercatat sepanjang Januari-Juli 2024.
Di mana, 80 persen kasus terjadi di lingkungan sekolah yang kewenangan berada Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) dan 20 persen kasus terjadi di lingkungan sekolah yang kewenangan berada di Kementerian Agama (Kemenag).
Baru-baru ini, perundungan di lingkungan sekolah kembali terjadi. Diketahui, perundungan tersebut terjadi di Binus School Simprug. Siswa dengan inisial RE (16) mengakui menjadi korban perundungan fisik sejak awal masuk sekolah pada November 2023 lalu. Perundungan yang terjadi dalam waktu lama ini mengakibatkan korban saat ini dirawat di rumah sakit.
Aksi perundungan di SMA Binus Simprug ini menambah deretan panjang kasus bullying yang sedang marak terjadi. Kasus ini sendiri juga pernah terjadi sebelumnya yakni pada bulan Maret lalu, tepatnya di Binus School Serpong yang melibatkan anak dari artis Vincent Rompies.
Kasus tersebut dilakukan oleh sejumah oknum murid kelas 12 dengan nama Geng Tai kepada murid kelas 10. Dalam kasus ini, polisi menetapkan 4 tersangka yakni E (18), R (18), J (18), dan G (19).
Menanggapi Wakil Ketua Komisi X DPR Dede Yusuf Macan Effendi menyayangkan satgas perundungan belum efektif menangani kasus-kasus perundungan di satuan pendidikan. Hal tersebut terlihat dari aparat penegak hukum yang kerap masuk ke sekolah yang menangani kasus perundungan.
"Saya prihatin kasus bullying ini terjadi di sekolah dengan kriteria unggul dan fasilitas yang mungkin sudah tercukupi. Peran sekolah menjadi sangat penting, saya khawatir dengan fenomena aparat penegak hukum yang jadi sering masuk ke sekolah," tutur Dede melalui rilisnya, Selasa (17/9/2023).
Menurutnya, kasus perundungan yang kerap ditangani oleh aparat penegak hukum dikhawatirkan menimbulkan banyak dampak negatif. “Dampaknya sekolah menjadi tempat yang mengerikan, karena dikit-dikit ada penegak hukum. Tentu untuk proses belajar mengajar menjadi tidak nyaman dan kondusif karena kan kalau menggunakan payung hukum anak SMA sudah kategorinya sudah bukan anak-anak lagi bisa kena delik hukum pidana,” terangnya.
Perlu diketahui, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) telah memiliki regulasi terkait masalah perundungan di sekolah yakni Permendikbud Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan (Permendikbudristek PPKSP). Permendikbud ini turut mewajibkan dibentuknya Satuan Tugas (Satgas) untuk mengurus masalah perundungan di sekolah.
“Ketika terjadi bullying di dalam sekolah, satgas kekerasan antibullying itu yang harus bertanggung jawab. Nah apakah di swasta ada? Karena kalau di negeri semua ada,” ungkapnya.
Ia menjelaskan, sebenarnya Satgas Antiperundungan sudah memiliki aparatur yang mengurusnya. Namun, aparat yang berada di dalamnya bersifat penyuluh dan pembimbing sehingga dinilai kurang maksimal karena tidak ada bagian penegakan hukum.
“Jadi, kalau misalnya melaporkan sampai ke polisi dan menggunakan pengacara, ini kan kaitannya jadi harus ada yang dipenjara. Jadinya, kan panjang sekali, padahal kalau satgas itu bekerja dengan baik dan sekolah tidak membiarkan maka hal-hal semacam ini tidak perlu terjadi,” tukas Dede.
“Nah itu harus kita tanyakan bagaimana di Binus itu ada tidak satgasnya karena satgas ini terdiri dari orang tua, guru, kepala sekolah bahkan hingga keamanan sehingga tidak serta merta permasalahan ini harus diangkat ke penegak hukum. Bisa diselesaikan oleh satgas tadi,” imbuhnya.
Dalam pengakuannya, RE siswa SMA Binus Simprug juga mengaku mendapat intimidasi dari para pelaku bullying. Termasuk adanya ancaman dari terduga pelaku yang mengaku sebagai anak ketua umum partai politik (parpol). Baik korban maupun pihak sekolah menggunakan pengacara ternama pada kasus ini.
“Endingnya, bukan lagi soal pendidikan tapi jadinya proses gugat menggugat, ketika sudah ada proses gugat menggugat artinya proses pendidikannya sudah kacau sudah tidak terjadi karena masuknya ranah hukum,” terang Dede.
Maraknya kasus perundungan di sekolah telah lama menjadi perhatian Komisi X DPR yang berfokus pada pengawasan bidang pendidikan itu. Dede mengatakan, masalah hukum yang terlibat pada kasus perundungan menyebabkan kasus semakin kompleks.
“Selama ini kan datangnya ke komisi X lalu kita panggil pihak sekolah nanti diselesaikan dengan jalur pendidikan. Kalau masuk ke ranah hukum datangnya ke komisi III,” pungkas Legislator dari Dapil Jawa Barat II tersebut. (*)