Riaumandiri.co - Warga Pulau Rempang menggelar beragam kegiatan di kampung-kampung mereka pada Rabu (11/9).
Kegiatan yang mereka gelar itu, untuk mengingat momen bentrokan yang terjadi dalam aksi damai yang berujung kerusuhan di depan Gedung Badan Pengusahaan (BP) Batam pada 11 September 2023 lalu.
Saat itu ada 43 warga yang ditangkap, 35 di antaranya ditetapkan sebagai tersangka dan harus menjalani proses hukum.
Tak hanya warga Rempang, masyarakat sipil Riau juga mengadakan aksi. Dua kali aksi yang diselenggarakan pada Rabu (11/9) di depan Kantor Gubernur Riau dan Kamis (12/9) dengan aksi kamisan Pekanbaru.
Koalisi Masyarakat Sipil Riau menyuarakan agar PSN Rempang Eco-City segera dibatalkan karena menciptakan dampak sosial, ekonomi, dan lingkungan yang signifikan.
Aksi ini digagas oleh kelompok, organisasi dan jaringan orang muda di Riau yang bersolidaritas terhadap perjuangan masyarakat Pulau Rempang yang saat ini masih berjuang mempertahankan tanah adat, warisan budaya, kekayaan laut dan darat sebagai sumber penghidupan mereka.
Aksi diawali dengan berjalan dari Perpustakaan Wilayah Soeman HS menuju depan kantor Gubernur Riau, lalu massa aksi menyebar ke empat titik untuk membentangkan spanduk dan poster yang bertuliskan “Masih Ingat Rempang? Kampung Melayu Tua yang Masih Menghadapi Ancaman Penggusuran dan Intimidasi Aparat Keamanan”, “Kickout PT MEG from Rempang, Recognize People Landright”, “1 Tahun Rempang Melawan, Tolak PSN Rempang Eco City”, dan “Save Kampung Tua Melayu Pulau Rempang, Sahkan RUU Masyarakat Adat”.
Ellya, perwakilan Koalisi Masyarakat Sipil Riau menyebutkan apa yang dilakukan oleh masyarakat pada 7 dan 11 September lalu sebagai bentuk bertahan dari rencana penggusuran, namun mereka mendapat tindak kekerasan bahkan kriminalisasi oleh aparat penegak hukum.
“Kami menolak lupa tragedi kemanusiaan yang terjadi di Pulau Rempang. Tragedi ini menunjukkan adanya penyalahgunaan kekuasaan oleh negara hingga saat ini. Untuk itu kami mengajak seluruh masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat Riau mendesak Pemerintah membatalkan PSN Rempang Eco City dan menghentikan penggunaan aparatur militer dalam upaya penyelesaian konflik baik di Rempang maupun di seluruh Indonesia,” ujar Ellya dalam siaran persnya, Jumat (13/9).
Begitu juga dengan Imam, salah satu massa aksi mengatakan bahwa PSN Rempang Eco City pemicu konflik agraria. Ia menyebutkan negara justru meliberalisasi sumber agraria bersama elit bisnis, dengan menyempitkan hak menguasai negara. Akibatnya, masyarakat Rempang tidak menjadi elemen terhitung dalam pembangunan.
“Dari awal Jokowi hanya menabur janji manis untuk melegalkan Kampung Tua Melayu di Pulau Rempang, kenyataannya ia dan elit bisnis sebenarnya tidak memperhatikan hak-hak masyarakat Pulau Rempang,” ujar Imam.
Imam menambahkan, kondisi PSN di Pulau Rempang memperlihatkan indikasi pemerintah relatif mengesampingkan perihal kemanusiaan untuk mendorong kepentingan ekonomi tanpa adanya perspektif kemanusiaan dan juga HAM.
Koalisi Masyarakat Sipil Riau untuk Rempang menutup kegiatannya dengan melakukan doa bersama untuk memberi semangat kepada masyarakat Pulau Rempang dan terhindar dari ancaman penggusuran, serta meminta pemerintah segera membatalkan PSN Rempang Eco City serta memberikan akses legal terhadap wilayah kelola masyarakat Pulau Rempang.
Koalisi Masyarakat Sipil Riau menggelar aksi di depan kantor Gubernur Riau untuk memperingati peristiwa kemanusiaan pengosongan Pulau Rempang demi Proyek Strategis Nasional (PSN) Rempang Eco City.
Satu tahun peristiwa 11 September di depan kantor BP Batam dimaknai sebagai gerakan solidaritas masyarakat yang merespons peristiwa bentrokan akibat rencana pematokan tanah untuk memuluskan proyek Rempang Eco-city tanggal 7 September di Jembatan 4 Barelang, Sultan Zainal Abidin.