Riaumandiri.co - LBH Pekanbaru menyebut Mahkamah Konstitusi mengabulkan gugatan dari Partai Buruh dan Partai Gelora mengenai Undang-Undang Pilkada. Terdapat dua putusan penting di hari yang sama.
Direktur LBH Pekanbaru Andri Alatas mengatakan, Jumat (23/8) bahwasanya melalui putusan MK itu partai politik maupun gabungan dapat mendaftarkan calonnya walaupun tak memiliki kursi di DPRD.
"Pertama, putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024. Di dalam putusan ini, MK menyebut bahwa partai politik atau gabungan partai politik serta Pemilu dapat mendaftarkan pasangan calon kepala daerah walaupun mereka tidak memiliki kursi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)," ujarnya.
Ambang batas Pilkada ditentukan dari jumlah Daftar Pemilih Tetap Pemillu 2024 di masing-masing daerah.
Ada empat klasifikasi besaran suara sah yang ditetapkan MK, yaitu; 10 persen, 8,5 persen, 7,5 persen dan 6,5 persen sesuai dengan besaran DPT di daerah terkait.
Kedua, adalah putusan Perkara Nomor 70/PUU-XXII/2024 mengenai pengujian syarat batas usia calon kepala daerah yang diatur Pasal 7 ayat (2) huruf e UU Pilkada. MK menolak permohonan dua mahasiswa, Fahrur Rozi dan Anthony Lee, yang meminta MK mengembalikan tafsir syarat usia calon kepala daerah sebelum adanya putusan Mahkamah Agung Nomor 23 P/HUM/2024. Adapun, putusan MA tersebut berhubungan dengan perubahan syarat usia calon kepala daerah menjadi saat pelantikan calon terpilih. Sebelumnya, syarat terkait berlaku saat penetapan calon oleh KPU.
Sehari setelahnya, Badan Legislatif Dewan Perwakilan Rakyat (Baleg DPR) berencana untuk mengadakan rapat untuk mendalami Putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024 tentang ambang batas pencalonan kepala daerah dan Nomor 70/PUU-XXII/2024 tentang batas usia calon. Rencananya, rapat diselenggarakan pada Rabu, 21 Agustus 2024. Namun, tidak hanya mengeksaminasi dua putusan itu, DPR berusaha untuk menganulirnya.
Menurutnya upaya menganulir putusan MK itu merupakan skenario untuk membuat koalisi gemuk di Pilkada 2024.
"Upaya menganulir dua keputusan tersebut mengarah pada dua tujuan. Pertama, ada dua skenario berhubungan dengan Putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024. Yaitu mengembalikan Putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024 dengan tetap menerapkan Pasal 40 tentang syarat ambang batas, yaitu 20 persen kursi DPRD bagi partai calon atau gabungan partai untuk mengusung calon atau memberlakukannya pada Pilkada 2029. Kedua, adalah mengubah usia calon kepala daerah sejak dilantik sesuai Putusan MA meski MK dalam putusan 70/PUU-XXII/2024 menegaskan usia calon kepala daerah terhitung sejak penetapan bukan sejak pelantikan," kata Andri.
"Gerak cepat di parlemen dapat ditebak. Beberapa waktu ke belakang, koalisi partai politik yang dikomandoi oleh Prabowo dan Presiden Jokowi berusaha untuk membangun koalisi gemuk untuk menghadapi Pilkada 2024" tambahnya.
Membuka kemungkinan besar pasangan yang mereka usung bertarung dengan kotak kosong dan calon boneka. Kali ini, ketika terdapat putusan MK yang mencoba untuk menyeimbangkan ruang demokrasi di parlemen, koalisi tersebut berbondong-bondong untuk menjegalnya.
Namun, revisi UU oleh DPR DPR mengenai ambang batas pencalonan berbeda dengan putusan MK. Jika dilihat dalam draft yang diusulkan, ambang batas akan tetap berada di angka 20% dan 25% telah disepakati oleh Panja Baleg sebagaimana tertuang dalam Pasal 40 ayat 1. Dalam rapat tersebut, Pemerintah menyetujui, DPD menyepakati, dan tak ada satupun fraksi yang menginterupsi.
Ini menunjukkan bahwa aktor-aktor di DPR tidak berjalan sendiri, Jokowi sebagai Presiden dan Prabowo sebagai calon Presiden jelas memiliki kepentingan dibalik dihidupkannya pasal yang dibatalkan MK. Terlebih, panitia kerja Badan Legislatif DPR mengatur usia calon kepala daerah ditentukan sejak pelantikan yang sudah jelas di tolak Mahkamah Konstitusi. Skenario busuk DPR ini sinyal mengamankan kepentingan aliansi sisa Orde Baru Prabowo dan dinasti politik Presiden Jokowi untuk mengusung putranya Kaesang Pangarep sebagai pasangan kepala daerah dan calon tunggal di Jakarta.
Kolaborasi keserakahan Presiden Jokowi bersama DPR membajak pilar demokrasi untuk memasukan kepentingan dinasti politiknya tidak terjadi pada saat ini saja. Beberapa waktu lalu, Presiden Jokowi mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Tentang Cipta Kerja (Perpu Cipta Kerja) yang sudah dibatalkan oleh MK. Namun alih-alih dipatuhi Putusan MK, Presiden Jokowi bersama DPR menghidupkan kembali Perpu Cipta Kerja yang berlaku hingga saat ini. Bahkan beberapa penyusunan regulasi lain, Jokowi bersama DPR mengubah UU KPK untuk menggembosi agenda pemberantasan korupsi.
Sepuluh tahun berkuasa, rezim di bawah komando Jokowi telah benar-benar secara culas menunjukkan praktek manipulasi demokrasi dan negara hukum. Di dalam rapat Baleg tersebut rakyat juga dapat melihat bahwa DPR merupakan kelompok sirkus pementasan tirani parlemen: mengakomodir kepentingan aliansi “penerus Rezim Orde Baru” Prabowo Subianto dan dinasti politik Presiden Jokowi.