RIAUMANDIRI.CO - Anggota Komisi VII DPR RI Mulyanto dari Fraksi PKS nenegaskan bahwa fraksinya konsisten menolak dimasukannya aturan power wheeling dalam RUU EBET yang saat ini akan memasuki proses perumusan dan sinkronisasi oleh tim perumus dan tim sinkronisasi (timus-timsin).
Mulyanto menjelaskan terkait power wheeling, pasal yang diusulkan Pemerintah masih dibahas dan belum ada kesepakatan. Fraksi PKS menolak masuknya pasal ini dan minta pembahasan dilakukan di tingkat raker.
Namun demikian, mengingat jadwal Masa Sidang V yang padat dan berakhir pada tanggal 11 Juli 2024 maka dapat diperkirakan baik rapat Timus-timsin maupun Raker terkait RUU EBET ini tidak dapat diselenggarakan pada masa sidang ini.
Sehingga pembahasan akan dilanjutkan pada masa sidang berikutnya. Karena itu dapat dipastikan, bahwa RUU EBET ini tidak dapat diputuskan pada Masa Sidang V tahun 2023/2024 ini.
"PKS sendiri menolak dimasukannya pasal terkait dengan power wheeling. Sebab pasal ini bukan sekedar mengatur soal sewa jaringan transmisi PLN oleh pihak swasta, namun implikasi yang krusial adalah dimungkinkannya pihak pembangkit listrik swasta untuk menjual listrik secara langsung kepada pengguna listrik dengan mengambil peran PLN," ujar Wakil Ketua FPKS DPR RI ini, Senin (8/7/2024).
Dengan demikian, lanjut Mulyanto, PLN tidak lagi menjadi satu-satunya lembaga dalam sistem single buyer and single seller (SBSS), tetapi ada banyak pihak swasta yang membeli dan menjual listrik dan membentuk multi buyer and multi seller system (MBMS).
Dengan kata lain pengusahaan listrik tidak lagi hanya dimonopoli oleh PLN tetapi diliberalisasi kepada pihak swasta dengan mengikuti mekanisme pasar.
"Ini soal penting dan prinsip karena norma tersebut tidak sesuai dengan semangat konstitusi yang menempatkan sektor kelistrikan sebagai cabang usaha penting dan strategis yang dikuasai oleh negara sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, yang pengusahaannya dilakukan oleh perusahaan Negara," tegasnya.
Ia menambahkan memasukkan pasal power wheeling sama dengan membuka “kotak Pandora”, yang menjadikan listrik sebagai komoditas pasar, dimana pengusahaannya dilakukan oleh orang-perorang yang harganya ditentukan oleh mekanisme pasar.
Itu sebabnya kenapa dua kali MK melakukan JR terhadap UU Ketenagalistrikan pada tahun 2003 terhadap UU No. 20 tahun 2002, dan tahun 2015 terhadap UU No. 30 Tahun 2009 yang ujungnya menolak prinsip “unbundling” (tidak terintegrasi) dan menegaskan, bahwa sektor ketenagalistrikan “harus dikuasai oleh Negara”.
Oleh sebab itu, Mulyanto minta Pemerintah tidak memaksakan untuk memasukkan skema power wheeling tersebut. (*)