Oleh M Jamiluddin Ritonga*
KOMISI Pemilihan Umum (KPU) mengakokodir putusan Mahkamah Agung (MA) soal batas usia calon kepala daerah.
KPU memutuskan calon gubernur dan wakil gubernur minimal berusia 30 tahun pada saat pelantikan 1 Januari 2025 dan calon bupati atau wali kota berusia 25 tahun minimal saat pelantikan 1 Januari 2025.
Keputusan KPU itu tentu tidak mengagetkan tapi menyedihkan. Karena hal serupa sudah dilakukan KPU untuk mengakomodir batas usia untuk calon presiden dan wakil presiden.
Hanya saja, KPU saat mengakomodir batas usia capres dan cawapres mengacu pada Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK). Sementara untuk mengakomodir batas usia calon kepala daerah, KPU mengikuti Keputusan MA.
Meski berbeda, tapi substansinya sama. KPU mengubah peraturan batas usia capres dan cawapres serta kepala daerah mengacu pada Putusan MK dan MA. KPU sudah tidak mengacu lagi kepada UU yang dibentuk DPR bersama Pemerintah.
Hal itu tentu akan menjadi preseden dalam pembuatan peraturan di Indonesia. Lembaga yang lebih rendah tak perlu lagi mengacu pada UU, selama ada Putusan MK dan MA yang mengubah UU tersebut.
Jadi, MK dan MA sangat berkuasa untuk mengubah UU. Hanya dengan memutuskan suatu UU bermasalah, maka lembaga terkait harus menyesuaikan peraturannya sesuai keputusan MK dan MA.
Kalau hal itu terus terjadi, maka mekanisme pembuatan UU menjadi kabur. Hal ini tentu berbahaya bagi perkembangan demokrasi di tanah air.
Padahal demokrasi hanya dapat berjalan baik bila semua yang terlibat taat aturan. Karena itu, semua anak bangsa tidak boleh mengakali aturan demi kepentingan pribadi atau kelompoknya.
Bila hal itu terjadi, maka demokrasi sudah kehilangan tajinya. Sebab, aturan tidak lagi untuk dilaksanakan, tapi digunakan untuk menggolkan keinginan pihak tertentu yang berkuasa.
Aturan atau hukum akhirnya menghamba kepada pihak-pihak yang berkuasa. Hukum kapan saja dapat berubah sesuai kehendak penguasa.
Kalau hal itu yang terjadi, sesungguhnya Indonesia sudah tidak lagi menganut demokrasi. Demokrasi hanya berlansung formalitas semata, sebab yang sesungguhnya terjadi sudah menerapkan sistem otoriter.
Hanya di negara otoriter aturan bisa diubah sekehendak penguasa. Hal itu sudah mulai menggejala di tanah air.
Karena itu, Indonesia harus kembali ke prinsif demokrasi. Aturan harus dilaksanakan, bukan untuk disesuaikan dengan kehendak segelintir orang. Ini sangat berbahaya bagi negara demokrasi di tanah air. (*Pengamat komunikasi politik Universitas Esa Unggul)