Ramadan tinggal menghitung hari. Sebagaimana tahun-tahun sebelumnya, Ramadan tahun ini akan kita lihat lagi sebagian lapisan masyarakat akan tampil saleh.
Politisi, artis, anak muda, preman, tersangka akan menampilkan diri sebagai sosok yang saleh. Apalagi calon-calon kepala daerah (gubernur, bupati, walikota) diyakini berbuat sama.
Kita akan lihat nanti politisi maupun legislatif dan eksekutif akan membuat baliho, spanduk menyambut Ramadan dan mengucapkan selamat hari raya. Mereka tampil dalam kemasan yang agamis, lelaki berpeci, perempuan berkerudung dan jilbab dengan wajah khusuk dan senyum manis disunggingkan.
Meski tidak semassal di jalanan, kemasan serupa juga menghiasi tayangan sehari hari televisi, terutama saat jelang berbuka puasa. Pemirsa disuguhi iklan-iklan politisi yang mengucapkan selamat berpuasa, selamat berbuka dengan dandanan religius.
Pembawa acara, host, presenter, artis tak ketinggalan. Biasanya yang jarang ke masjid, yang jarang menghadiri majlis talim, yang jarang salat, selama Ramadan berubah. Sampai di sini aksi atau aktivitas tersebut sangat positif, menghormati bulan suci Ramadan dengan gegap gempita sekaligus untuk syiar Islam, namun di sisi lain banyak pengamat mengomentari bahwa diyakini penampilan selama Ramadan hanya sebagai pencitraan belaka terutama bagi politisi dan artis.
Pengamat semeotika dari Fakultas Seni Rupa dan Desain/ITB Yasrab Amir Piliang mengatakan: “Politisi selama Ramadan itu justru bertentangan dengan spirit puasa itu sendiri. Ibadah ini merupakan sarana pelatihan kaum muslim untuk menahan diri dari makan, minum, berbohong, dan menekankan kesederhanaan. Sementara pencitraan politik justru menjual kepalsuan, ketidakjujuran serta merayakan kemegahan diri sendiri”.
Sekarang bagaimana sesuai Ramadhan? Masjid kembali sepi, semua kembali kepada habitatnya. Politisi, artis, preman, kembali ke prilaku di sebelas bulan. Yang biasa setengah telanjang, yang biasa berbohong, yang biasa berjanji, yang lisannya tak terkontrol, yang biasa fitnah, korupsi, narkoba, minuman keras dan seterusnya kembali berjaya.
Ramadan dirindukan, tapi diisi dengan kepalsuan-kepalsuan. Pertanyaan berikutnya, apakah kita beragama hanya untuk sesaat? Perlu dijawab dengan jujur dan saya yakin sebagian besar apalagi yang betul-betul belajar agama dengan baik, jawabannya tentu 'TIDAK'.
Oleh sebab itu mari kita jadikan pula Ramadan tahun ini untuk merenung kembali, apalagi bagi kaum muslimin yang telah berkali-kali menikmati Ramadan malah sudah ada yang berpuluh kali. Pertanyaannya sejauh mana manfaat atau dampak rukun Islam ini terhadap keseharian kita.
Sudahkah ada kejujuran pada diri kita, sudahkah ada toleransi, soliditas, jiwa ikhlas, saling menolong dan jiwa kesederhanaan? Mari kita jawab dengan jujur. Jika belum atau masih kurang, barangkali puasa kita hanya sekedar pencitraan, penuh kepalsuan dan yang didapar hanyalah lapar dan haus belaka. Jangan sampai pecah kongsi antara pemahaman dan pengamalan. Insya allah negeri ini terhindar dari pencitraan pencitraan dan kepalsuan kepalsuan belaka. Wallahua’lam.**
Oleh: Iqbal Ali(Pengamat sosial dan keagamaan).