RIAUMANDIRI.CO - Penolakan kenaikan uang kuliah tunggal (UKT) kampus perguruan tinggi negeri (PTN) ramai terjadi. Pemerintah juga terkesan berlepas tangan. Plt. Sekretaris Ditjen Pendidikan Tinggi Kemendikbudristek Tjitjik Sri Tjahjandarie menyebut pendidikan tinggi adalah tertiary education, bukan wajib belajar yang diprioritaskan pemerintah.
Anggota Komisi X DPR RI Ledia Hanifa Amaliah menyayangkan pernyataan pejabat Ditjen Pendidikan Tinggi tersebut. Ledia menilai pernyataan tersebut sebagai sembrono, tidak solutif, dan tidak nyambung.
“Masyarakat, terutama orang tua dan mahasiswa sedang mengeluhkan biaya UKT yang mahal. Tidak terjangkau bagi banyak keluarga, sampai sudah ada korban drop out. Tapi pemerintah malah berkelit kalau kuliah itu tertiary education, pilihan pribadi untuk lanjut ke jenjang lebih tinggi, bukan prioritas pemerintah. Menurut saya pernyataan sembrono, tidak solutif,” jelas Ledia dalam keterangan tertulisnya, Sabtu (18/5/2024).
Ledia menilai reaksi pemerintah tersebut jadi memunculkan kekhawatiran bahwa karena pendidikan tinggi bukan wajib belajar dan bukan prioritas pemerintah, maka terserah saja mau naik berapa UKT-nya. “Seolah-olah terserah saja mau semahal apa, terserah mahasiswa sanggup lanjut kuliah atau drop out, karena semua itu adalah pilihan,” ujar Politisi Fraksi PKS ini.
Reaksi pemerintah menanggapi mahalnya kenaikan UKT dengan mengingatkan soal tertiary education itu, menurut Ledia, menjadi tidak nyambung karena status PTN itu jelas perguruan tinggi negeri yang berada di bawah naungan negara. Sehingga, negara harus siap dan harus mau, mengawasi implementasi regulasi penentuan nilai harga satuan biaya operasional pendidikan di Perguruan Tinggi Negeri (PTN).
“Sudah seharusnya penentuan nilai harga satuan biaya operasional pendidikan dikontrol oleh pemerintah. Kalau tidak dikontrol dan diawasi, maka akses pendidikan tinggi di Indonesia semakin sulit dijangkau, khususnya bagi masyarakat yang memiliki status ekonomi menengah ke bawah. Cita-cita mendulang Generasi Emas 2045 pun bisa hanya tinggal mimpi," tegas legislator asal dapil Jawa barat I ini pula.
Ledia kembali mengingatkan bahwa perguruan tinggi negeri merupakan investasi negara terhadap tumbuh kembang masa depan generasi bangsa, bukan bisnis negara. Karenanya negara harus hadir dalam memberikan kemudahan akses pendidikan untuk mencerdaskan bangsa, bukan untuk sekadar memenuhi kebutuhan pasar.
“Untuk mendapat manfaat bonus demografi dan memanen SDM unggul Indonesia Emas 2045, maka prioritas kita tentulah bagaimana generasi muda mendapatkan pendidikan dengan kualitas terbaik, dengan pelayanan terbaik, dan dengan alokasi yang terbaik,” ujarnya.
Karenanya, terdapat dua hal harus terjadi secara simultan. Pertama, negara harus hadir lewat regulasi yang membantu PTN agar bisa mendiri sekaligus mendorong terbukanya akses pendidikan. Kedua, Perguruan Tinggi juga harus mampu memberdayakan badan usaha agar beban operasional pendidikan tinggi tidak sepenuhnya ditanggung oleh mahasiswa. (*)