RIAUMANDIRI.CO - Anggota Komisi VII DPR RI Fraksi PKS Mulyanto, menyebut kasus korupsi timah senilai Rp271 triliun hanyalah puncak gunung es dari persoalan carut-marut tata kelola pertambangan nasional.
Ia menganggap Pemerintah ogah-ogahan mengurusi masalah pembinaan dan pengawasan pertambangan. Sementara pada bagian lain sangat bernafsu untuk mensentralisasinya ke pusat.
"Ibarat pepatah, nafsu besar, tenaga kurang," sindir Mulyanto, Jumat (5/4/2024).
Karena itu Mulyanto mendesak Presiden Joko Widodo (Jokowi) sungguh-sungguh menjalankan konstitusi dan amanat UU Minerba agar sumber daya tambang ini benar-benar dikuasai negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Bukan hanya sekedar kemakmuran segelintir atau sekelompok orang.
Ia mendesak Pemerintah membangun tata kelola pertambangan yang baik, terutama aspek pembinaan dan pengawasan tambang.
"Pemerintah kurang bersungguh-sungguh dalam mengurusi masalah ini. Kalau Pemerintah bersungguh-sungguh mengelola sektor ini maka di saat baru saja terjadi sentralisasi kewenangan pertambangan ke Pemerintah Pusat melalui revisi UU Minerba. Mana mungkin Dirjen Minerba justru ditugaskan untuk merangkap jabatan sebagai PLT Gubernur Babel. Tak lama setelah itu pun meledak kasus korupsi tunjangan kinerja di Direktorat Jenderal Minerba," jelas Mulyanto.
Sebagai informasi, pada Agustus 2023 merebak kasus tambang ilegal nikel Blok Mandiodo sebesar Rp2,3 triliun yang dipicu dokumen terbang, yang akhirnya juga menyeret mantan Kepala Badan dan Dirjen Minerba Kementerian ESDM.
Di sisi lain, alih-alih Pemerintah menetapkan Dirjen Minerba dengan pejabat yang definitif, yang dilakukan Pemerintah justru secara bergantian hanya menempatkan pejabat selevel Pelaksana Harian (PLH), baru kemudian diangkat pejabat selevel Pejabat Pelaksana Tugas (PLT).
Mulyanto menyesalkan, bahwa sampai hari ini tidak ada pejabat definitive sebagai Dirjen Minerba, Kementerian ESDM di tengah carut-marut persoalan tambang.
Menurut Mulyanto, mana mungkin pejabat sekelas PLT Dirjen mampu melawan mafia tambang dengan jaringan dan beking yang sangat kuat tersebut.
Sementara itu Satgas Terpadu Tambang Ilegal yang digembar-gemborkan Pemerintah sampai hari ini, dimana usia Pemerintahan tinggal seumur jagung, belum juga terbentuk.
"Jadi secara kelembagaan sulit diyakini, bahwa Pemerintah serius mengurusi soal pembinaan dan pengawasan sektor pertambangan ini," katanya.
Mulyanto pesimis Jokowi di sisa-sisa Pemerintahannya dapat menyelesaikan masalah krusial pertambangan nasional ini dengan baik.
Karena itu Mulyanto mendesak Pemerintahan yang akan datang menjadikan masalah ini sebagai pekerjaan rumah super prioritas, yang dibuktikan di 100 hari kerja pertama mereka.
"Pemerintah yang akan datang harus bisa membuktikan diri, bahwa mereka tidak kalah dari mafia tambang dan para bekingnya," tutup Mulyanto. (*)