Riaumandiri.co - Koalisi pemerintahan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dilaporkan terpecah. Setelah ketegangan dengan Washington memperburuk ketidaksepakatan mengenai proposal untuk memasukan kelompok ultra-Ortodoks Yahudi wajib militer.
Pada Selasa (26/3) media Israel melaporkan rapat kabinet untuk membahas rencana perubahan undang-undang wajib militer dibatalkan beberapa hari sebelum pemerintah harus mengajukan proposal itu ke Mahkamah Agung. Saat ditanya mengenai laporan itu staf Netanyahu mengatakan sesi rapat kabinet belum dijadwalkan.
Penundaan rapat ini terjadi satu hari setelah hubungan Netanyahu dengan Pemerintah Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden memburuk. Usai Washington memutuskan tidak memveto resolusi Dewan Keamanan PBB yang menyerukan gencatan senjata segera di Gaza.
Masyarakat internasional menekan Israel untuk membatalkan rencananya menyerang Rafah, kota paling selatan Jalur Gaza dan berbatasan dengan Mesir yang kini menampung lebih dari satu juta pengungsi dari daerah lain. Netanyahu membatalkan kunjungan delegasi ke Washington yang bertujuan membahas alternatif AS mengenai operasi itu.
Perlawanan terbuka pada Washington disambut baik mitra koalisi nasionalis-religius Netanyahu. Tapi, dikritik mantan menteri Pertahanan Benny Gantz yang berhaluan moderat dan bergabung dengan kabinet perang tahun lalu. Gantz mengatakan delegasi Israel tetap harus berkunjung ke AS.
Meski angka dukungan terhadap Netanyahu menurun tapi survei menunjukan masyarakat Israel mendukung upaya pemerintah membasmi Hamas sebagai kekuatan militer di Gaza, hal ini memberinya motivasi untuk melawan Washington. Namun perpecahan di koalisinya menunjukkan semakin kuatnya tekanan internasional terhadap Israel.
Surat kabar Israel berhaluan konservatif, Hayom yang biasanya mendukung Netanyahu, turut mendukung keputusan untuk tidak mengirimkan delegasi ke AS. Tapi, mengatakan dukungan terbuka Biden merupakah hal yang paling dibutuhkan Israel ketika "legitimasi tindakannya terpecah dalam kecepatan yang menakutkan."
Posisi Netanyahu masih bergantung pada keutuhan koalisinya dengan partai-partai nasionalis-religius yang menolak perang berhenti atau konsesi apa pun yang diminta internasional untuk penyelesaian politik dengan Palestina.
Namun undang-undang wajib militer yang berpotensi menghapus pengecualian bagi Yahudi ultra-Ortodoks akan menjadi tantangan signifikan, menyoroti perpecahan antara Israel sekuler dan religius.
Proposal ini juga mempertajam perpecahan antara sekutu Menteri Pertahanan Yoav Gallant yang mendorong perluasan undang-undang wajib militer dengan partai-partai ultra-Ortodoks dalam koalisi yang ingin mempertahankan pengecualian itu.